Trending

Ahmad Sahroni Hingga Nafa Urbach Dinonaktifkan dari DPR: Kalau Rakyat Sudah Lupa, Bisa Aktif Kembali?

Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach mulai 1 September 2025 akibat kontroversi pernyataan mereka. Apa bedanya dinonaktifkan dan dipecat dalam politik?

Vania Rossa | Ayu Ratna

Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. (kolase)
Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. (kolase)

Dewiku.com - Drama politik lagi-lagi datang dari Senayan. Kali ini Partai NasDem bikin langkah tegas dengan menonaktifkan dua nama besar mereka di DPR, yaitu Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, per 1 September 2025.

Keputusan ini diumumkan lewat siaran pers resmi yang ditandatangani langsung Ketua Umum Surya Paloh dan Sekjen Hermawi Taslim. Keduanya dianggap bikin pernyataan yang menyinggung perasaan rakyat, sesuatu yang menurut partai jelas melenceng dari garis perjuangan mereka.

Sebelumnya, Sahroni udah lebih dulu dicopot dari posisi Wakil Ketua Komisi III DPR dan dipindahkan ke Komisi I. Sementara Nafa ikut jadi sorotan gara-gara komentarnya yang mendukung tunjangan rumah DPR. NasDem menegaskan kalau aspirasi rakyat tetap jadi pedoman utama mereka.

Bedanya Nonaktif dan Pecat

Dilansir Dewiku.com dari berbagai sumber, ada perbedaan penting antara status nonaktif dan pecat dalam politik Indonesia.

Pertama, nonaktif biasanya berarti anggota dicopot dari jabatan di partai atau fraksi, tapi masih punya status sebagai anggota DPR. Mereka nggak aktif di internal partai, tapi kursinya masih aman.

Sedangkan pecat jauh lebih serius. Itu artinya keanggotaan di partai resmi dicabut, dan bisa berujung kehilangan kursi DPR lewat mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) bersama KPU dan DPR.

Jadi, kalau nonaktif masih ada peluang balik lagi, pecat biasanya jadi jalan buntu buat karier politik di partai itu.

Kenapa Dipilih Nonaktif?

Biasanya, partai nggak buru-buru memecat. Langkah nonaktif dianggap lebih cepat dan strategis buat redam situasi. Publik merasa ada tindakan, sementara partai tetap punya opsi untuk mempertahankan figur kalau nanti dianggap masih berguna.

Selain itu, prosedur nonaktif jauh lebih gampang. Pecat butuh jalur panjang, termasuk PAW, yang bisa makan waktu dan energi politik. Dengan nonaktif, partai bisa kasih sinyal tegas tanpa harus ribet secara administrasi.

Nonaktif juga jadi ruang buat introspeksi. Anggota yang kena sanksi bisa punya waktu untuk evaluasi diri. Kalau dianggap udah siap balik lagi dan patuh pada AD/ART partai, masih ada kemungkinan aktif kembali.

Dan jangan lupa, nonaktif juga berarti fasilitas dan peran strategis di DPR bisa dicabut. Jadi tetap ada konsekuensi meskipun belum sampai level pemecatan.

Bisa Aktif Lagi atau Enggak?

Nah, kalau ngomongin soal peluang aktif lagi, semuanya balik ke mekanisme internal partai. Biasanya ada beberapa tahap yang harus dilewati.

Mulai dari pengajuan permohonan, evaluasi dari pengurus, sampai akhirnya keluar keputusan resmi lewat surat atau dokumen. Kalau partai setuju, status nonaktif bisa dicabut, dan anggota bisa aktif lagi di struktur partai.

Tapi, penting dicatat: meskipun udah aktif lagi di partai, status legislatif di DPR tetap terikat aturan formal KPU dan DPR. Jadi ada jalurnya sendiri.

Artinya, peluang balik itu ada, tapi jelas nggak otomatis. Semua tergantung penilaian partai dan dinamika politik ke depan.

Langkah Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach jadi sinyal kalau partai ini serius menjaga citra dan kepercayaan publik.

Meski belum sampai level pemecatan total, status nonaktif udah cukup berat karena bikin mereka kehilangan peran di internal partai. Tinggal tunggu, apakah nanti ada jalan buat balik atau justru berakhir dengan keputusan final.

Berita Terkait

Berita Terkini