Trending
Demo Ricuh Sasar Rumah Pejabat, Benarkah Ini Suara Rakyat?
Aksi demo di Jakarta berubah ricuh, rumah pejabat ikut jadi target. Apakah ini masih suara rakyat atau sudah bergeser ke anarki?
Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Dewiku.com - Gelombang demo sebagai bentuk ekspresi demokrasi dalam menyampaikan aspirasi justru berujung pada tindakan perusakan dan penjarahan rumah anggota DPR sampai Menteri. Dampaknya, rakyat yang ingin didengar justru dilabeli anarkis.
Amarah massa yang meluas menyasar rumah pribadi para pejabat, mulai dari Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani. Fenomena ini memicu perdebatan tentang esensi demonstrasi.
Apakah benar ini yang diinginkan rakyat? Demonstrasi seharusnya menjadi ajang memperjuangkan kepentingan publik, bukan justru menambah kerugian dengan merusak fasilitas dan menciptakan suasana mencekam.
Esensi Demonstrasi: Menyuarakan Aspirasi, Bukan Aksi Anarki
Sejak awal reformasi, demonstrasi menjadi salah satu cara paling efektif bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat. Dari mahasiswa, buruh, hingga kelompok masyarakat sipil, semua pernah menggunakan demonstrasi sebagai alat perjuangan.
Sesuai esensinya, demonstrasi menyuarakan aspirasi dengan damai, terorganisir, dan penuh tanggung jawab. Saat aksi berubah menjadi perusakan, pembakaran, atau bahkan penjarahan, maka esensi itu hilang.
Bukan lagi suara rakyat yang terdengar, tapi hanya kekacauan yang merugikan banyak pihak. Tindakan seperti ini justru memunculkan kesan bahwa demonstrasi bukan lagi murni perjuangan rakyat, tetapi sekadar pelampiasan emosi.
Rumah DPR, Menteri, Hingga Cagar Budaya Jadi Sasaran: Rakyat atau Provokator?
Pemberitaan media melaporkan perusakan gedung, fasilitas umum, hingga penjarahan rumah para wakil rakyat. Berawal dari rumah Ahmad Sahroni dan disusul anggota DPR lain hingga Menteri Sri Mulyani, aksi rakyat nggak serendah itu.
Terbaru, menurut lansiran Suara.com, Gedung Grahadi di Surabaya yang berstatus cagar budaya dibakar pada Sabtu (30/08/2025) malam. Kabarnya, aksi ini buntut dari tuntutan pelepasan demonstran.
Baca Juga
Nggak Semua Kaya Raya, Ketua DPR RI Hidup Sederhana Sampai Disebut Termiskin: Tapi Ini Tahun 1970-an
Ditawari Masuk Politik, Aurelie Moeremans Ungkap Ada Opsi Jalan Pintas Pendidikan: S1 Bisa Singkat, S2 Bisa Diatur
Nafa Urbach Habis-Habisan Diserbu, Maaf Dua Kali Tak Menyelamatkan!
Dianggap Berani Lawan Sahroni, Salsa Erwina Jadi Simbol Pentingnya Suara Perempuan di Publik
Sindiran Halus Soal Etika Publik: Tiara Andini Bongkar Perlakuan Mengejutkan Pejabat di Pesawat
Harga Diri Perempuan Dipertaruhkan? Tren War Duda Usai Cerai Pratama Arhan Viral di Medsos
Para demonstran ini sempat diamankan petugas usai aksi di depan Polrestabes Surabaya. Sayangnya, mediasi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk menenangkan massa dan berkoordinasi untuk melepaskan demonstran justru gagal.
Bagi sebagian orang, mungkin aksi ini jadi bentuk “protes keras” terhadap elite yang dianggap enggan mendengar suara rakyat. Namun di sisi lain, banyak pihak menilai hal ini justru merugikan citra demonstrasi itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah aksi ini benar-benar aspirasi rakyat atau sekadar bentuk anarki yang ditunggangi pihak tertentu? Kekhawatiran pun muncul dari potensi provokasi yang berujung legalitas tindakan militer sebagai solusi pengendali situasi.
Apalagi, instruksi Kapolri dengan perintah tegas untuk menembak perusuh baru-baru ini diturunkan. Berdasar lansiran berita Suara.com, Jenderal Listyo Sigit memerintahkan perusuh yang menerobos Mako Brimob ditembak peluru karet.
Rakyat Butuh Didengar, Bukan Dilabeli Perusuh
Perlu dipahami pula, kemarahan rakyat nggak datang tanpa alasan. Ada rasa kecewa terhadap kebijakan, ada jurang komunikasi antara pemerintah, DPR, dan masyarakat. Celah inilah yang kemudian memicu aksi demo besar-besaran.
Namun, di titik tertentu, aksi yang berubah jadi anarki justru melemahkan posisi rakyat. Pemerintah atau pejabat bisa lebih mudah melabeli demonstrasi sebagai "perusuh" ketimbang mendengar substansi tuntutan.
Maka, jika memang niatnya menyuarakan kepentingan rakyat, aksi harus tetap dalam koridor damai dan terukur. Ingat kembali tujuan awal pergerakan rakyat dan jangan biarkan provokasi dari penunggang gelap menyusup.
Saatnya Kembali ke Esensi Demonstrasi
Kasus perusakan dan penjarahan yang mendompleng massa demonstrasi menjadi alarm keras. Kalau demonstrasi terus dibiarkan melenceng dari esensi, maka yang rugi bukan pejabat, tapi justru rakyat sendiri.
Rakyat nggak butuh label “perusuh”. Rakyat butuh didengar. Maka, cara terbaik untuk memastikan suara rakyat tetap bermakna adalah dengan mengembalikan demonstrasi pada jalurnya: damai, cerdas, dan terhormat.
Ingat, perubahan besar nggak lahir dari amarah membabi buta, melainkan dari konsistensi perjuangan yang bermartabat. Sah-sah saja berdemo, tapi ingat pulang agar aksi dengan tujuan sakral nggak dinodai penunggang gelap.