Trending
Kelihatan Mewah, Tapi Banyak Tagihan: Realita Flexing di Sosmed
Di balik postingan liburan mewah dan outfit branded di sosial media, banyak orang justru terjebak gaya hidup palsu demi validasi.
Vania Rossa | Ayu Ratna

Dewiku.com - Liburan ke luar negeri, nongkrong di rooftop café, sampai OOTD dari kepala sampai kaki serba branded—feed-nya sih kelihatan ‘hidupnya enak banget’. Tapi siapa sangka, di balik semua gaya mewah itu, ada cicilan yang belum lunas dan anxiety tiap akhir bulan.
Fenomena flexing di sosial media makin marak, bikin banyak orang rela hidup di atas kemampuan demi terlihat ‘berhasil’. Pertanyaannya, semua ini demi apa? Validasi? Likes? Atau karena takut dikira gagal?
Baca Juga
Mindful Eating Itu Apa Sih? Cara Makan Biar Bahagia, Bukan Cuma Kenyang!
Bukan Cuma Perasaan, Cuaca Emang Bisa Bikin Kondisi Kulit Berubah
Cocok-Cocokan Zodiak dan MBTI: Mitos atau Fakta Jitu Cari Pasangan?
Singapore Oceanarium: Destinasi Baru Wajib Kunjung Buat Cewek Petualang!
Gosip Bikin Sehat Mental? Cek Dulu Sisi Baik dan Buruknya Biar Nggak Kebablasan!
Dilema Cewek Masa Kini: Nikah Dulu Apa Sukses Dulu? Ini Pertimbangannya!
Fenomena ini tidak hanya marak di kalangan selebriti atau influencer, tapi juga menjalar ke masyarakat umum, bahkan yang sebenarnya sedang berjuang secara ekonomi. Di balik layar media sosial yang penuh kemewahan, tersembunyi tekanan sosial dan psikologis yang tak sedikit.
Apa Sih Gaya Mewah di Tengah Tekanan Ekonomi Sosial Media?
Fenomena ini dikenal dengan istilah flexing, yakni perilaku memamerkan kemewahan dan pencapaian secara berlebihan di media sosial demi mendapatkan validasi atau pengakuan.
Citra yang ditampilkan bisa bermacam-macam, dari barang mewah seperti tas desainer, jam tangan mahal, gadget terbaru, hingga gaya hidup yang dianggap “berkelas” seperti ngopi di kafe mewah atau staycation di resort eksklusif.
Yang membuat fenomena ini menarik (dan mengkhawatirkan) adalah kenyataan bahwa tidak semua pelakunya benar-benar mampu menjalani gaya hidup tersebut.
Banyak di antaranya yang tetap memaksakan citra mewah demi menjaga eksistensi di dunia maya, walau sebenarnya sedang menghadapi tekanan finansial. Flexing menjadi simbol status sosial modern, yang lebih mengandalkan persepsi ketimbang kenyataan.
Penyebab Fenomena
1. Budaya Konsumerisme dan Simbol Status
Kepemilikan barang mewah sering dijadikan ukuran kesuksesan. Di era digital, penampilan menjadi segalanya. Gaya hidup konsumtif pun tumbuh subur, karena masyarakat semakin terdorong untuk menunjukkan bahwa mereka berhasil, bahkan jika itu hanya sebatas tampilan luar.
2. Kebutuhan Validasi Sosial
Media sosial memicu dorongan untuk mendapat “likes”, komentar, dan pujian. Inilah yang membuat banyak orang merasa harus tampil sempurna dan glamor. Flexing menjadi strategi agar tetap relevan, diakui, dan dikagumi oleh orang lain.
3. Tekanan Lingkungan Sosial
Kalangan muda, terutama, merasa perlu mengikuti tren fashion dan gaya hidup tertentu agar tidak dianggap ketinggalan. Bahkan, ada yang membeli barang palsu atau ngutang demi bisa “pamer” di media sosial dan masuk ke lingkaran sosial tertentu.
4. Kurangnya Kesadaran Finansial
Banyak orang belum menyadari bahwa perilaku konsumtif semacam ini bisa berdampak jangka panjang. Demi membangun citra mewah, sebagian bahkan terjebak dalam utang, pinjaman instan, atau tekanan finansial berkepanjangan.
Dampak Fenomena
1. Tekanan Ekonomi dan Gaya Hidup Konsumtif
Orang jadi terdorong membeli barang bukan karena butuh, tapi demi citra sosial. Ini jelas membahayakan stabilitas finansial pribadi, terutama ketika pemasukan tidak sebanding dengan gaya hidup yang dipertahankan.
2. Kesenjangan Sosial dan Perasaan Tidak Cukup
Ketika media sosial terus dibanjiri unggahan gaya hidup mewah, banyak pengguna yang merasa tertinggal atau minder dengan kehidupannya sendiri. Kecemburuan sosial pun meningkat, dan rasa cukup jadi semakin sulit dirasakan.
3. Kelelahan Mental dan Emosional
Tekanan untuk terus tampil “sempurna” dan bahagia secara online bisa menimbulkan kelelahan mental. Banyak orang akhirnya kehilangan koneksi dengan diri sendiri, karena terlalu sibuk membangun versi ideal di media sosial.
4. Rusaknya Kejujuran Sosial
Perilaku flexing memicu ilusi bahwa semua orang sukses dan bahagia, padahal kenyataannya bisa jauh berbeda. Hal ini membuat standar hidup menjadi tidak realistis, bahkan bisa merusak pola pikir generasi muda tentang arti sukses yang sebenarnya.
Peran Media Sosial
Media sosial punya peran sangat besar dalam membentuk dan menyebarkan fenomena ini.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi wadah utama di mana gaya hidup mewah ditampilkan secara terus-menerus.
Influencer, selebriti, hingga orang biasa, semua ikut berpartisipasi dalam narasi glamor yang tampak tak terbendung.
Algoritma media sosial pun memperkuat tren ini. Konten yang menampilkan kemewahan cenderung mendapatkan lebih banyak perhatian, sehingga terus dipromosikan di beranda pengguna.
Pada akhirnya, citra ideal tentang kebahagiaan dan kesuksesan dibentuk berdasarkan apa yang viral, bukan apa yang realistis.
Di sisi lain, beberapa perusahaan bahkan sengaja memanfaatkan flexing sebagai strategi pemasaran dengan menggandeng influencer untuk menciptakan “gaya hidup aspiratif” demi mendorong konsumerisme.
Hasilnya, batas antara kehidupan nyata dan citra media sosial pun semakin kabur.
Fenomena gaya hidup mewah di tengah tekanan ekonomi bukan sekadar tren visual di media sosial. Ia mencerminkan tekanan sosial yang dalam, budaya konsumtif yang meluas, dan krisis identitas yang perlahan melanda masyarakat digital.
Meski terlihat glamor, realitanya bisa sangat berbeda. Menyadari hal ini penting agar kita tidak terjebak dalam ilusi kemewahan yang menyesatkan.
Lebih dari sekadar penampilan, esensi hidup bukan diukur dari jumlah barang mahal yang dimiliki, melainkan dari ketenangan batin dan kejujuran terhadap diri sendiri.