Biennale Jogja XV 2019, Pengunjung Diajak Melihat Sisi Lain Asia Tenggara
Setiap karya seni di Biennale Jogja XV menggambarkan secuil kisah kehidupan dari Asia Tenggara.
Pameran seni Biennale Jogja 2019 resmi dimulai pada 20 Oktober 2019 lalu. Tahun ini, Biennale Jogja yang mengusung tajuk 'Do we live in the same PLAYGROUND?' melibatkan 52 seniman dari wilayah Asia Tenggara.
Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta mengatakan, kawasan Asia Tenggara dipilih setelah sebelumnya melibatkan seniman dari India, Nigeria, Arab, dan Brasil.
"Pertama, kita berada dalam kawasan Asia Tenggara. Terus apa sih yang belum pernah diambil dari Asia Tenggara?" kata Alia Swastika.
Baca Juga: Meriahkan Biennale Jogja 2019, Begini Persiapan Khusus Voice of Baceprot
"Kalau kita bicara soal Manila, Bangkok, Jakarta, Kuala Lumpur, kan udah sering. Jadi kita mau ngomong dari wilayah-wilayah pinggiran," tambahnya.
Berangkat dari sinilah, Biennale Jogja XV 2019 mengusung tema 'Do we live in the same PLAYGROUND?'. Para kurator dan seniman diminta untuk mempertunjukkan karya yang mewakili isu pinggiran di Asia Tenggara.
Beberapa di antaranya adalah karya tentang perbatasan Thailand-Laos, Malaysia-Thailand, hingga wilayah pinggiran Indonesia itu sendiri.
Baca Juga: Biennale Jogja 2019, Hadirkan Instalasi Seni Berdampak Panjang
"Jadi melihat sesuatu tentang Asia Tenggara yang belum banyak diangkat dalam dunia seni," terang Alia Swastika.
Selain isu pinggiran, isu perempuan juga diangkat di Biennale Jogja XV 2019. Rupanya, hampir separuh dari seniman di Biennale Jogja XV 2019 adalah seniman perempuan.
"Memang kita sejak awal tertarik untuk menonjolkan seniman-seniman perempuan," tutur Alia Swastika. "Sekarang generasi muda seniman kita banyak yang kuat yang perempuan."
Walau demikian, Alia Swastika juga menegaskan bahwa Biennale Jogja XV tidak mengangkat seniman perempuan karena mereka terpinggir.
"Bukan berarti kita menganggap posisi perempuan terpinggir. Memang kita mengakui masih ada represi terhadap perempuan, tapi tidak berarti dalam pameran ini kita hendak menunjukkan bahwa semua perempuan terpinggir," kata dia menjelaskan.
Salah satu contoh karya Biennale yang mengangkat baik isu perempuan dan pinggiran adalah milik Muslimah Collective. Seniman-seniman perempuan dari Thailand menunjukkan bagaimana kehidupan muslimah di Pattani yang secara budaya adalah orang Melayu namun memiliki kewarganegaraan Thailand.
"Di sana ada banyak kasus-kasus kekerasan, seperti pemaksaan agar mereka menjadi bagian dari budaya Thailand. Nah, kita ingin memasukkan situasi yang tidak banyak diketahui publik Indonesia," kata Alia Swastika ketika menjelaskan salah satu contoh karya yang ada.
Contoh lainnya adalah isu para pengungsi perang Vietnam yang kehilangan identitas. Sang seniman merepresentasikannya dalam karya berbentuk tumpukan kartu identitas.
"Ketika menjadi pengungsi itu kan orang tidak punya identitas, banyak di antara mereka menjadi warga ilegal. Seniman ini lalu melakukan wawancara ke para pengungsi, lalu membuatkan kartu identitas."
"Jadi untuk menunjukkan bahwa hal terpenting yang hilang dari kehidupan seseorang ketika menjadi pengungsi adalah identitas," ujar Alia Swastika.
Isu pinggiran dalam Biennale Jogja XV sendiri tak selalu merujuk pada wilayah geografis. Sebaliknya, pinggiran bisa diartikan sebagai hal-hal yang mungkin dianggap tidak penting atau hal-hal yang direpresi.
"Pameran ini lebih membuka soal konflik yang tersembunyi," ungkap Alia Swastika. "Di kita saja masih banyak, kita merepresi orang LGBT, kita merepresi kelompok miskin, digusur, rumahnya dijadikan bandara. Di beberapa video di Jogja National Museum, ada yang mengetengahkan masalah orang-orang kehilangan tanahnya karena dijadikan PLTN. Itu juga bagian dari represi."
"Saya mau bilang jika konflik ada di setiap tempat, tapi konteksnya beda. Yang sama adalah represi terhadap kelompok-kelompok terpinggir, walau konteksnya setiap negara beda," imbuh Alia Swastika.
Ya, Biennale Jogja XV 2019 memang bertujuan sebagai pendidikan isu serta mendistribusikan pengetahuan tentang isu-isu di Asia Tenggara.
Baca Juga: Voice of Baceprot, Hijaber Metal Jadi Line Up Pembuka Biennale Jogja 2019
Setelah Asia Tenggara, Biennale pun berencana untuk menjalin kerja sama dengan seniman-seniman di wilayah Pasifik pada perhelatan berikutnya. (*Amertiya Saraswati)
BERITA TERKAIT
4 dari 5 Orang Indonesia Andalkan Kendaraan Pribadi, Transportasi Umum Cuma Populer di Jabodetabek
Senin, 30 September 2024 | 10:29 WIBDoom Spending Bisa Bikin Miskin, Jangan Habiskan Uang untuk Kebahagiaan Sesaat
Minggu, 29 September 2024 | 10:55 WIBPerempuan Pelaku Kejahatan Lebih Menyita Perhatian, Bukti Nyata Sindrom 'Blame the Woman'?
Selasa, 24 September 2024 | 13:52 WIBBumil vs High Heels: 5 Seleb Ini Tetap Berani Pakai Hak Tinggi saat Hamil
Selasa, 24 September 2024 | 07:00 WIBBisa Ditiru, Ini Tips Bonding Sehat Nikita Willy dengan Issa Xander Djokosoetono
Senin, 23 September 2024 | 12:20 WIBEfek Domino Kasus Brandoville Studios: Stigma Kembali Menghambat Karier Perempuan
Minggu, 22 September 2024 | 14:00 WIBBERITA TERKINI