Ragam

Idaman Pencari Kerja, Perusahaan Kasih Unhappy Leaves Buat Karyawan yang Stres

Penasaran sama nama perusahaannya? Tapi sayangnya, perusahaan ini bukan di Indonesia.

Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Ilustrasi stres kerja (Pexels/Yan Krukau)
Ilustrasi stres kerja (Pexels/Yan Krukau)

Dewiku.com - Setiap perusahaan biasanya punya kebijakan masing-masing, termasuk “unhappy leaves” yang tengah ramai jadi perbincangan di media sosial. Kebijakan ini merupakan izin cuti resmi untuk karyawan yang merasa butuh waktu buat menata mental.

Jadi, bukan cuma sakit fisik yang bisa bikin “bolos” kerja, tapi juga sakit hati, burnout, atau sekadar lagi nggak pengin ketemu rekan kerja yang cerewetnya ngalahin toa masjid. Sayangnya, kebijakan ini buakn terjadi di Indonesia.

Nah, kalau di Indonesia, kira-kira kebijakan ini bisa jalan nggak ya? Atau malah bikin HRD geleng-geleng sambil berkata, “Mas, mbak… kalau galau terus cuti, pabrik bisa bangkrut, lho!”

Apa Itu Unhappy Leaves?

Unhappy leaves atau "cuti tak bahagia" diperkenalkan oleh Yu Donglai, founder sekaligus CEO Pang Dong Lai. Dalam kebijakan ini, perusahaan memberi kebebasan pada karyawan untuk mengambil cuti kapan pun mereka merasa stres, nggak puas, atau sekadar butuh istirahat.

Menariknya, cuti ini nggak memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari manajemen dan keputusan sepenuhnya berada di tangan karyawan. Yu Donglai membuat kebijakan sebagai cara untuk menghormati kesejahteraan emosional dan kesehatan mental karyawan.

Tampaknya unhappy leaves berakar dari filosofi menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan. Bahkan, Pang Dong Lai juga menawarkan hari kerja yang dipersingkat menjadi tujuh jam dan tunjangan cuti tahunan yang besar, lho.

Pendekatan ini mencerminkan keyakinannya kalau karyawan yang rileks dan puas akan menghasilkan kinerja yang lebih baik, minim turn over, dan bisnis berkelanjutan, terlebih industri di China terkenal sangat kompetitif.

Kalau Unhappy Leaves di Indonesia? Bisa Bikin HRD Migren Duluan!

Unhappy leaves jelas menunjukkan kalau dunia kerja sedang bergerak ke arah yang lebih peduli pada kesehatan mental karyawan. Apakah ini kebijakan kreatif? Jelas iya, tapi kalau diterapkan di Indonesia, malah bikin HRD migren duluan.

Diakui atau nggak, karyawan perusahaan di Indonesia dekat dengan kondisi burnout dan stres akibat pekerjaan yang menumpuk. Bahkan nggak jarang juga ada karyawan yang sampai harus “serabutan” handle banyak job desk.

Meski perlahan era WFH dan WFA sudah semakin lazim ditemui, tapi tuntutan kehadiran fisik masih jadi kewajiban. Pengajuan cuti pun terkadang nggak mudah, baik proses maupun izin dari perusahaan.

Sebenarnya bukan nggak mungkin unhappy leaves dilontarkan di Indonesia, hanya saja ada cukup banyak alasan yang membuat kebijakan ini sulit diterapkan.

1. Budaya Kerja yang Masih Kaku

Di Indonesia, budaya kerja masih condong ke arah formal dan hierarkis. Banyak perusahaan menilai kehadiran fisik lebih penting daripada kesehatan mental. Jadi, kalau ajukan “cuti karena nggak bahagia”, bisa dianggap alasan yang nggak serius.

2. Stigma Soal Kesehatan Mental

Masih ada anggapan kalau stres atau rasa nggak bahagia itu hal biasa yang harus ditahan dan solusinya sekadar “ngopi”. Pengajuan cuti semacam ini malah bisa dicap manja dan nggak profesional.

3. Aturan Ketenagakerjaan yang Ketat

Dalam UU Ketenagakerjaan Indonesia, cuti resmi diatur terbatas, yaitu cuti tahunan, cuti sakit (pakai surat dokter), cuti melahirkan, cuti menikah, dan lainnya. Cuti karena “unhappy” nggak ada dasar hukum jelas.

4. Kekhawatiran Soal Penyalahgunaan

Banyak HRD dan atasan di Indonesia khawatir kalau cuti model “unhappy leaves” bisa dimanfaatkan asal-asalan. Misalnya, pegawai minta cuti ini cuma buat liburan atau karena malas kerja.

5. Mindset Produktivitas Vs Wellbeing

Fokus perusahaan di Indonesia masih lebih berat ke produktivitas jangka pendek ketimbang kesejahteraan jangka panjang. Padahal, penerapan unhappy leaves yang memberi ruang untuk “pulih” justru bikin karyawan lebih loyal dan produktif.

 

Berita Terkait

Berita Terkini