Ragam

Boy Mom Culture, Bentuk Kasih Sayang atau Simbol Kuatnya Patriarki?

Di balik manisnya istilah Boy Mom Culture, ada kritik soal patriarki yang belum terputus dalam pola asuh keluarga.

Vania Rossa

Ilustrasi Seorang Ibu dengan Anak Laki-Lakinya (Freepik)
Ilustrasi Seorang Ibu dengan Anak Laki-Lakinya (Freepik)

Dewiku.com - Kayaknya istilah-istilah baru di zaman sekarang tuh banyak banget ya. Pemberian istilah baru ini tentu dipengaruhi oleh fenomena-fenomena sosial yang lagi booming terjadi masyarakat. Salah satunya kayak istilah boy mom culture

Istilah boy mom culture ini awalnya populer di luar negeri, tapi akhirnya menyebar juga ke Indonesia karena pengaruh media sosial yang akses informasinya sangat cepat. Jadi sebenarnya apa sih makna dari boy mom culture itu sendiri?

Boy mom culture sendiri merupakan istilah yang merujuk kepada perilaku dari seorang ibu yang sangat memanjakan anak laki-lakinya bak pangeran. Nah anak laki-laki yang dimanjain inilah disebut dengan boy mom. 

Melansir dari USA Today, sebelumnya istilah boy mom digunakan oleh para ibu di untuk sharing pengalaman mereka yang memiliki anak berbeda jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan. 

Akan tetapi, setelah istilah ini tersebar di media sosial, boy mom culture pun berkembang menjadi sebuah slang sebagai bahan sindiran bagi para ibu yang memanjakan anak laki-lakinya secara berlebihan. Bahkan, istilah ini juga merujuk kepada perilaku ibu yang tidak senang dengan keberadaan kekasih atau istri dari anak laki-lakinya. 

Boy mom culture juga sering disebut sebagai bentuk dari overprotective sang ibu yang tidak ingin anak-anak laki-lakinya mengalami penderitaan. Bentuk protektif berlebihan inilah yang sering kali membangun karakter anak laki-laki menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab saat menghadapi masalah ketika sedang berumah tangga atau menjalin hubungan?

Boy Mom Culture adalah Bentuk Patriarki

Mungkin banyak dari kita yang sering kali melihat rumah tangga seseorang rusak karena hubungan menantu perempuan dengan ibu dari suaminya tidak akur, padahal sedang tidak buat masalah sekali pun atau marah karena istri lebih banyak dapat jatah dari gaji anak laki-lakinya. 

Kalau kamu ingat pada drama Korea berjudul Marry My Husband (2024) ketika mertua dari Kang Jiwon menyuruh dirinya bekerja, sedangkan suaminya sekaligus anak dari mertuanya, Park Minhwan justru dilarang untuk membantu urusan rumah tangga oleh ibunya, padahal saat itu Kang Jiwon sedang menderita kanker.

Yup, contoh di atas merupakan salah satu contoh dari perilaku mertua yang menunjukkan adanya penerapan boy mom culture dalam kehidupan. Sering kali seorang ibu tidak terima jika anak laki-lakinya mendapat penderitaan dan kadang kala mereka menganggap pasangan dari anaknya sebagai saingan. 

Kalau ditarik garis kesimpulan, mungkin inilah secercah jawaban untuk menjawab pertanyaan “Kenapa patriarki justru berasal dari perempuan?”. Hal ini dikarenakan sejak dahulu perempuan diberikan tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, seperti mengurus rumah tangga, memiliki keturunan, mengurus anak, mendidik anak, bahkan sampai memiliki kewajiban membantu suami untuk mencari penghasilan tambahan.

Mirisnya, tanggung jawab ini masih berlaku hingga sekarang dan memiliki potensi untuk diturunkan pada generasi berikutnya.

Stigma inilah yang secara perlahan akan membentuk pemahaman jika anak perempuannya kelak menjadi seorang ibu yang berkewajiban mengurus urusan rumah tangga, sedangkan anak laki-lakinya hanya bertanggung jawab untuk bekerja. 

Seorang ibu yang juga perempuan tentu akan terpengaruh dengan tekanan dan tanggung jawab patriarki yang diembannya hingga menurunkan stigma tersebut ke anak laki-lakinya. 

Boy mom culture yang saat ini menjadi tren di media sosial ternyata memiliki makna yang lebih dari sebuah sindiran terhadap ibu yang memanjakan anak laki-lakinya atau anak laki-laki yang manja kepada ibunya. 

Boy mom culture menjadi bukti jika rantai patriarki masih terus ada hingga sekarang. Patriarki juga menunjukkan eksistensinya sebagai permasalahan struktural dalam kehidupan perempuan.

(Annisa Deli Indriyanti)

Berita Terkait

Berita Terkini