Trending
Dedi Mulyadi Sebut Candaan Seksis Sebagai Guyonan Sunda: Budaya Jadi Tameng untuk Seksisme?
Candaan seksis Dedi Mulyadi bikin Komnas Perempuan angkat suara. Tapi menurut sang Gubernur, itu cuma guyonan khas Sunda yang lumrah. Memangnya boleh budaya dijadikan tameng untuk seksisme?
Vania Rossa

Dewiku.com - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, jadi sorotan usai melontarkan candaan bernada seksis saat mendampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kunjungan ke Puskesmas Sirnajaya, Bekasi, pada 23 Juli 2025 lalu. Candaan tersebut ditujukan pada ibu-ibu penerima bantuan dan menuai kritik keras dari publik, termasuk Komnas Perempuan.
Menanggapi teguran dari Wakil Ketua Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, Dedi Mulyadi buka suara. Ia membela diri dengan menyebut bahwa guyonan yang ia lontarkan adalah bentuk humor yang biasa dalam budaya Sunda—tepatnya dikenal sebagai “cawokah”.
“Begini, ini orang Sunda, jadi saya tahu itu kan sering sering banyol sama Ceu Popon (komedian Sunda) di panggung-panggung. Nah kalau banyol sama Ceu Popon itu cawokah, itu tradisi yang biasa ada dalam masyarakat Sunda dalam lawakan-lawakan,” ujar Dedi Mulyadi di Jatinangor, Sumedang pada Selasa, 28 Juli 2025.
Cawokah sendiri merupakan sebuah banyolan atau candaan berbahasa Sunda yang memang sering menjurus ke arah seksualitas. Dedi turut menyampaikan jika cawokah atau candaan tersebut tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Sunda karena di Jawa Barat sendiri cawokah telah menjadi kebudayaan.
Saat memberikan penjelasan itu, Dedi juga sempat memberikan contoh dari cawokah yang sering memiliki makna yang berbeda-beda di kalangan masyarakat Sunda. Salah satunya istilah dari alat kelamin pria dalam bahasa Sunda pun menurutnya bisa memiliki makna yang beragam bergantung dengan konteksnya, terutama jika dilihat dari sisi pengetahuan dengan kebudayaan tentu akan menghasilkan makna yang jauh lebih berbeda.
“Nah itu beda-beda, jadi tergantung orangnya. Jadi orang kalau hanya baca dari sisi akademik mungkin berat, tapi bagi mereka yang biasa nonton wayang golek, lawakan, ya biasa saja,” tambahnya sembari menegaskan bahwa di balik candaannya itu tidak ada niat untuk melecehkan atau merendahkan perempuan.
Namun, Komnas Perempuan berpandangan sebaliknya. Menurut Dahlia, candaan seksis termasuk dalam bentuk kekerasan seksual nonfisik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ia menekankan bahwa tindakan semacam itu, apalagi dilakukan oleh tokoh publik, dapat memberi contoh buruk bagi masyarakat dan generasi muda.
“Guyonan bernada seksual terhadap perempuan tidak bisa dianggap remeh, apalagi dinormalisasi. Itu bentuk kekerasan yang harus dihentikan,” tegas Dahlia.
Pernyataan ini menyoroti pentingnya kesadaran publik—terutama bagi pemimpin dan figur publik—untuk menjaga ucapan, terlebih di ruang publik. Sebab, apa yang mereka ucapkan mudah direkam, ditiru, dan bisa memperkuat budaya permisif terhadap kekerasan verbal atau seksual.
Dahlia juga dengan tegas menyampaikan kepada Dedi Mulyadi selaku publik figur untuk lebih berhati-hati lagi saat bertutur kata maupun berperilaku, termasuk saat memberikan candaan agar tidak ditiru oleh masyarakat luas maupun para generasi muda.
Baca Juga
Biar Lebih Peka Sama Siklus Sendiri, Ini Aplikasi Tracker Menstruasi yang Bikin Hidup Makin Teratur
Katanya Cuma Sekali, Tapi Kok Diulang? Yuk, Kenali Pola Pasangan yang Rentan Selingkuh Lagi
Sama-sama Hamil di Luar Nikah, Ini Beda Cara Lina Mukherjee dan Erika Carlina Menghadapinya
Bukan Sekadar Legenda: Gusti Ayu Soli, Penari Bali Berusia 100 Tahun yang Masih Aktif Pentas
5 Rekomendasi Parfum Vanila yang Lembut dan Nggak Bikin Pusing, Ada Brand Lokal Juga!
3 Soothing Spray Andalan Traveler: Cegah Sunburn, Bikin Kulit Tetap Glowing!
Pada akhirnya, budaya memang seharusnya dijaga, tapi bukan berarti bisa dijadikan pembenaran atas perilaku yang menyakiti atau merendahkan pihak lain—termasuk perempuan. Jika humor seksis terus dianggap “lumrah” karena alasan tradisi, maka kita patut bertanya: budaya seperti apa yang sedang kita wariskan ke generasi berikutnya? Menghormati budaya bukan berarti menoleransi seksisme yang dibungkus tawa.
(Annisa Deli Indriyanti)