Trending
Sebut Batik Budaya Malaysia, Host Promosi Film Fantastic Four Kena Semprot Netizen!
Batik kembali disebut-sebut sebagai kebudayaan tradisional Malaysia di tengah acara tur promosi fil Fantastic Four: First Steps di Sydney. Hal ini langsung bikin warganet emosi dan klarifikasi.
Vania Rossa

Dewiku.com - Film Fantastic Four: First Steps baru saja mencuri perhatian, bukan karena alur ceritanya atau akting para pemeran utamanya, tapi karena batik. Ya, batik—kain tradisional yang sangat lekat dengan budaya Indonesia—mendadak jadi bahan perdebatan internasional gara-gara pernyataan dari seorang kreator konten asal Malaysia-Inggris, Mark O’Dea.
Kejadian bermula saat Mark hadir di tur promosi Fantastic Four: First Steps yang berlangsung di Sydney. Dalam kesempatan itu, Mark berinteraksi langsung dengan keempat pemeran utama film, yakni Pedro Pascal, Vanessa Kirby, Ebon Moss-Bachrach, dan Joseph Quinn.
Untuk menyemarakkan suasana, Mark pun membawakan oleh-oleh berupa pakaian batik dengan warna yang senada dengan poster film. Tapi bukan hadiahnya yang jadi masalah—melainkan cara Mark memperkenalkannya.
“Yang sedang aku pakai sekarang disebut batik. Ini sangat tradisional di Malaysia dan dibuat dengan cara mewarnai kain menggunakan lilin khusus. Kalian suka?” ujarnya di depan para pemain Fantastic Four, sambil menunjukkan kain batik tersebut.
Sontak, potongan video ini menyebar dan membuat warganet Indonesia langsung naik pitam. Kolom komentar Instagram Mark @markodea8 pun dipenuhi protes netizen Indonesia yang menegaskan bahwa batik berasal dari Indonesia, bukan Malaysia.
Mark Buka Suara: “Saya Nggak Klaim, Kok”
Melihat komennya dibanjiri kritik, Mark pun angkat bicara. Ia mengklarifikasi bahwa dirinya tidak pernah berniat mengklaim batik sebagai budaya milik Malaysia secara eksklusif. Menurutnya, batik juga telah lama digunakan dan dikenal di Malaysia, dan pernyataannya murni sebagai bentuk apresiasi.
“Saya tidak pernah menyatakan Malaysia sebagai pemilik batik,” tulis Mark lewat Instagram Story.
Ia juga menegaskan bahwa dalam wawancara tersebut, ia tidak mewakili negara manapun secara resmi.
“Saya hanya kebetulan sedang berada di Sydney dan beruntung bisa bertemu para pemeran film,” jelasnya.
Baca Juga
Tas Branded Mulai Bikin Jenuh? Perempuan Korea Bertanya: Kita Bayar Barangnya atau Gengsinya?
Gugat Cerai Suami, Dahlia Poland Dihujat Nggak Kece Lagi: Beban Jadi Ibu Kok Segede Ini?
Malas Ribet tapi Mau Tetap Glowing? Cobain 5 Tinted Sunscreen Ini!
Jadi Penyelamat Untuk Pasangan? Hati-Hati, Bisa Jadi Kamu Terjebak Savior Complex
My Lovely Journey: Drakor Manis tentang Cinta, Luka, dan Menemukan Diri Sendiri
Sosok Inda Putri Manurung, Jaksa PU yang Terlibat Adu Mulut dengan Nikita Mirzani di Persidangan
Batik: Warisan Budaya Indonesia yang Diakui Dunia
Meski ini bukan pertama kalinya isu “klaim batik” muncul, warganet Indonesia punya alasan kuat untuk tidak tinggal diam. Sejak 2 Oktober 2009, UNESCO telah mengakui batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Milik Indonesia.
Pengakuan ini tidak datang begitu saja, melainkan karena teknik, simbol, filosofi, dan peran batik yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, batik memenuhi semua unsur budaya takbenda yang khas Indonesia: dari cara pembuatan, nilai simbolik, hingga penggunaan dalam berbagai ritus adat.
Lalu, Kenapa Masih Ada yang Bingung?
Faktanya, batik juga dikenal dan digunakan di Malaysia. Beberapa wilayah memang memiliki bentuk dan motif batik yang berkembang sendiri. Letak geografis yang berdekatan, sejarah panjang interaksi budaya, dan proses akulturasi di masa lalu menjadikan beberapa kesamaan dalam bentuk, tapi tidak identik dalam konteks budaya.
Yang menjadi masalah bukan soal pemakaian batik, melainkan ketika asal-usul budaya disampaikan secara setengah-setengah atau tanpa konteks. Karena ketika budaya dipresentasikan ke publik global, apalagi di panggung promosi film besar, penyebutan yang keliru bisa memicu misinformasi, dan tentu saja—keramaian di dunia maya.
Insiden ini bisa jadi pengingat untuk semua pihak—baik publik figur, influencer, maupun media—bahwa membawa warisan budaya ke ruang global butuh ketelitian. Apresiasi budaya itu penting, tapi asal-muasalnya juga jangan dilupakan.
Karena dalam dunia di mana video bisa viral dalam hitungan detik, satu kalimat bisa memicu debat lintas negara.
Dan dalam hal ini, warganet Indonesia memilih untuk tidak diam.
(Annisa Deli Indriyanti)