Di Balik Topeng Imposter Syndrome, Ketika Mahasiswa Merasa Tidak Layak Atas Pencapaian yang Didapat
Putri Yasmin, seorang lulusan psikologi dari Universitas Mercu Buana, mengatakan dirinya pernah mengalami imposter syndrome saat masih menjadi mahasiswa.
Imposter syndrome adalah fenomena psikologis di mana seseorang merasa tidak layak atas pencapaiannya, meskipun kenyataannya ia telah bekerja keras dan meraih kesuksesan.
Sebuah penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa imposter syndrome tidak hanya mempengaruhi individu secara umum tetapi juga memiliki dampak signifikan pada kelompok mahasiswa, terutama dari kalangan minoritas etnis.
Mahasiswa Afrika-Amerika, Asia-Amerika, dan Latin sering kali mengalami perasaan imposter yang memperburuk tekanan lain seperti diskriminasi rasial, kurangnya dukungan keuangan, serta menjadi generasi pertama dalam keluarga yang mengejar pendidikan tinggi.
Baca Juga: AI di Dunia Pendidikan: Solusi atau Ancaman untuk Mahasiswa Berpikir Kritis?
Bahkan, studi tersebut menemukan bahwa sindrom imposter sering kali muncul bersamaan dengan gejala depresi dan rasa bersalah.
Fenomena ini tidak hanya dialami oleh kelompok tertentu. Dr. Susan David, seorang pakar psikologi, menekankan bahwa sindrom imposter adalah kondisi yang umum terjadi.
Hal tersebut bahkan dirasakan oleh individu yang sangat kompeten. Perasaan ini menciptakan ilusi bahwa kesuksesan diraih karena keberuntungan semata, bukan hasil dari usaha atau kemampuan
Hal ini seringkali dialami oleh mahasiswa, termasuk mereka yang memiliki prestasi akademis atau penghargaan dari dosen dan teman-temannya.
Baca Juga: Lolos Seleksi Ketat, Mahasiswa IISMA-E Siap Bawa Pulang Ilmu Wirausaha
Putri Yasmin, seorang lulusan psikologi dari Universitas Mercu Buana, mengatakan dirinya pernah mengalami imposter syndrome saat masih menjadi mahasiswa.
Dia menjelaskan bahwa perasaan ini sering muncul pada mahasiswa yang meraih prestasi tinggi, namun merasa pencapaiannya lebih karena keberuntungan daripada usaha pribadi.
"Pernah merasa seperti 'penipu' karena dapat nilai bagus, padahal sebenarnya sudah berusaha keras," kata Putri.
Fenomena ini, menurutnya, terjadi karena adanya perasaan ketidakpastian mengenai apakah keberhasilan yang diraih benar-benar pantas diterima.
Putri juga menekankan bahwa imposter syndrome sering kali membuat mahasiswa meragukan kemampuan diri, meskipun mereka telah menerima pengakuan dari orang lain.
"Kadang setelah mendapat pengakuan, saya masih berpikir apakah saya benar-benar mampu seperti yang dikatakan orang lain," ujarnya.
Hal tersebut menunjukkan meskipun mahasiswa mendapatkan pujian atau penghargaan, mereka tetap merasa tidak percaya diri dan meragukan diri sendiri.
Fenomena ini juga mempengaruhi interaksi sosial di kampus. Banyak mahasiswa merasa lebih rendah diri ketika melihat teman-teman yang lebih mudah mencapai tujuan mereka.
"Melihat teman yang mudah mendapat penghargaan atau paham materi, saya kadang merasa tertinggal," ungkap Putri.
Meski begitu, ia menegaskan pentingnya untuk terus memotivasi diri dengan mengingat apa yang telah dicapai dan bagaimana perjalanan masing-masing individu itu berbeda.
Studi tentang perbedaan respons gender menunjukkan bahwa pria dengan sindrom imposter cenderung menghindari risiko, menunjukkan kinerja yang lebih buruk setelah kritik, dan bergaul dengan rekan yang kurang kompeten.
Sementara itu, perempuan dengan sindrom imposter justru meningkatkan usaha mereka, bahkan dalam situasi yang menantang.
Hal tersebut menunjukkan bagaimana tekanan sosial dapat memengaruhi cara setiap individu menghadapi perasaan tidak pantas tersebut.
Putri juga menambahkan bahwa untuk mengatasi sindrom imposter, mahasiswa perlu merenung dan menyadari pencapaian yang telah mereka raih.
"Setelah saya sadar apa yang sudah saya lakukan, saya merasa 'oh iya, saya pantas' dan itu sangat membantu untuk meningkatkan rasa percaya diri," jelasnya.
Dengan dukungan dari teman, dosen, atau keluarga, serta refleksi diri, perasaan ini bisa dikendalikan dan diatasi.
Meski sindrom imposter tampak sepele, faktanya, hal ini berdampak cukup besar terhadap motivasi dan kinerja akademis mahasiswa. Jadi, tak seharusnya hal ini dibiarkan begitu saja.
Baca Juga: Wadah Lanjutkan Kebermanfaatan, Begini Keseruan Kegiatan Alumni Program Kampus Mengajar
(Nurul Lutfia Maryadi)
BERITA TERKAIT
Mati Rasa atau Meledak-Ledak: Bagaimana Cara Kamu Mengelola Stres?
Jumat, 10 Januari 2025 | 09:30 WIBBukan Soal Introvert atau Ekstrovert, Begini Strategi Mencari Teman Menurut Sains
Kamis, 09 Januari 2025 | 17:15 WIBJournaling: Nulis Diary ala Zaman Now, Terapi Gratis untuk Kesehatan Mental
Selasa, 07 Januari 2025 | 16:30 WIBKehadiran Kakek-Nenek Bisa Jadi Sumber Kekuatan Bagi Kesehatan Mental Ibu
Senin, 06 Januari 2025 | 15:14 WIBTak Pernah Bertengkar dengan Pasangan, Tanda Cocok atau Sinyal Bahaya?
Senin, 06 Januari 2025 | 08:11 WIBBERITA TERKINI