Menyesal Menjadi Ibu? Dilema Perempuan Ketika Pengasuhan Anak Jadi Beban Sepihak
Ketika ada perempuan yang berkata dirinya menyesal akan pilihannya menjadi seorang ibu, ia akan dianggap egois dan tidak bermoral.
Ketika ada perempuan yang berkata dirinya menyesal akan pilihannya menjadi seorang ibu, ia akan dianggap egois dan tidak bermoral. Padahal, kenyataannya, perasaan menyesal yang dirasakan banyak perempuan atas peran yang saat ini diembannya, seringkali tidak berhubungan dengan rasa cinta yang ia miliki kepada anaknya. Mereka bisa jadi tetap mencintai anak-anaknya, namun membenci peran yang harus mereka jalani sebagai seorang ibu. Kenapa bisa seperti itu?
Faktanya, menjadi ibu bukanlah hal yang mudah, bahkan inilah salah satu pekerjaan paling sulit yang bisa dilakukan seseorang. Memberikan perawatan dan kasih sayang kepada orang lain, membentuk karakter dan perilaku seseorang hingga mereka dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari orang lain, merupakan pekerjaan yang sulit dan penuh tanggung jawab. Dan, semua tugas ini dibebankan kepada perempuan yang kebetulan mendapat titel 'ibu'. Tak sampai di situ, kita bahkan akan meminta pertanggung jawaban kepada ibu setiap kali terjadi kesalahan dalam proses pengasuhan ini.
Fenomena inilah yang kemudian menciptakan beban psikologis yang berat bagi para ibu, terutama ketika anak mengalami masalah dalam perkembangan atau pendidikan mereka.
Baca Juga: Moms United: Bersatu Untuk Ibu Hebat
Seperti dikatakan Psikolog Agustini, ada kecenderungan bahwa ibu sering kali menjadi pihak yang disalahkan ketika anak mengalami gangguan, baik itu dalam pendidikan atau masalah kesehatan seperti disabilitas.
Dalam pandangan tradisional, ibu adalah sosok yang paling bertanggung jawab atas perkembangan anak, mulai dari masa kehamilan hingga proses pendidikan setelah kelahiran. Dan ketika anak mengalami gangguan, ibu akan menjadi sasaran kritik, baik dari pasangan maupun masyarakat.
Padahal, menurut Agustini, penyebab gangguan perkembangan anak tidak hanya disebabkan oleh ibu. Faktanya, faktor genetik dari ayah juga bisa berperan dalam masalah yang dihadapi anak. Namun, di masyarakat, ibu sering kali menjadi pihak yang disalahkan.
Baca Juga: Ibu Tunggal, Pahlawan dalam Diam
"Ibu memiliki tugas untuk merawat, mendidik, dan melahirkan. Ketika anak yang dilahirkan memiliki masalah, ibu sering menjadi pihak yang disalahkan," kata Agustini.
Hal ini terutama terjadi karena peran tradisional di Indonesia, di mana ayah dianggap sebagai pencari nafkah utama dan ibu sebagai pengasuh.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada keluarga dengan anak yang memiliki disabilitas, tetapi juga pada masalah pendidikan. Agustini memberikan contoh bahwa banyak ibu yang merasa bersalah ketika anak-anak mereka mengalami kesulitan dalam belajar.
"Ibu merasa bersalah karena menganggap dirinya mungkin tidak cukup menjaga atau mendidik dengan baik, padahal masalah tersebut bisa jadi bersifat genetik atau karena faktor lain yang tidak terduga," lanjut Agustini.
Sementara itu, di sisi lain, ayah sering kali dianggap lebih cuek atau kurang terlibat dalam pendidikan anak. Hal ini karena tugas utama mereka dianggap hanya berkisar pada penyedia nafkah keluarga.
"Ayah lebih jarang dilibatkan dalam masalah perkembangan anak. Jika anak sukses, sering kali ayah yang dianggap berjasa, tetapi jika anak bermasalah, ibulah yang lebih sering disalahkan," ujar Agustini.
Masalah ini menciptakan ketegangan dalam hubungan pasangan, di mana ibu merasa terbebani dengan harapan masyarakat dan pasangan terhadap peranannya.
Seringkali, dalam situasi ini, ayah menganggap bahwa masalah perkembangan anak sepenuhnya adalah urusan ibu, tanpa merasa perlu untuk terlibat lebih jauh.
Masyarakat perlu mengubah pandangan ini agar ayah juga lebih aktif dalam mendidik dan merawat anak. Dengan cara ini, beban yang selama ini dipikul ibu bisa lebih ringan, dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab bersama.
Pada akhirnya, penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa dalam mendidik anak, baik ibu maupun ayah memiliki peran yang sama pentingnya. Tidak seharusnya ada pihak yang disalahkan sepenuhnya ketika anak menghadapi masalah. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah saling dukung dan kerja sama dalam menjalankan peran orang tua, demi tumbuh kembang anak yang lebih baik. Dengan begitu, tak akan ada lagi reaksi emosional yang menyebut soal penyesalan seorang perempuan menjafi seorang ibu.
Baca Juga: Lebih dari Sekadar Rasa, Kenapa Masakan Ibu Selalu Bikin Kangen?
(Nurul Lutfia Maryadi)
BERITA TERKAIT
Mati Rasa atau Meledak-Ledak: Bagaimana Cara Kamu Mengelola Stres?
Jumat, 10 Januari 2025 | 09:30 WIBBukan Soal Introvert atau Ekstrovert, Begini Strategi Mencari Teman Menurut Sains
Kamis, 09 Januari 2025 | 17:15 WIBSendu di Januari Biru, Alasan di Balik Perasaan Sedih saat Awal Tahun
Rabu, 08 Januari 2025 | 09:45 WIBBERITA TERKINI