Ragam

Terlihat Kuat dan Ceria, Nyatanya Banyak Perempuan Menyimpan Luka yang Tak Terucap

Di luar terlihat ceria dan tangguh, di dalam diam-diam berantakan. Kenapa perempuan sering menutupi luka batin dan trauma demi tampil 'baik-baik saja'?

Vania Rossa

Ilustrasi perempuan menyimpan luka. (Unsplash/Riccardo Mion)
Ilustrasi perempuan menyimpan luka. (Unsplash/Riccardo Mion)

Dewiku.com - Pernah nggak, kamu ketemu teman lama yang di media sosialnya selalu kelihatan ceria, aktif, kayak nggak ada masalah, tapi waktu ketemu langsung, matanya kosong dan senyumnya tampak setengah hati? Di balik senyum seorang perempuan, sering tersembunyi cerita yang nggak pernah diceritakan. Luka yang nggak kelihatan di kulit, tapi membekas dalam hati. Luka yang pelan-pelan mengubah cara dia mencintai, bekerja, bahkan berpikir soal diri sendiri.

Dan anehnya, makin “kuat” image perempuan itu di luar, makin besar kemungkinan dia nyimpan luka diam-diam. Mungkin karena dari kecil kita sudah diajari harus tahan banting, harus bisa multitasking, harus bisa senyum walau capek, dan harus terlihat “baik-baik saja” meski rasanya ingin kabur ke ujung dunia.

Faktanya, trauma bukan hal langka di hidup perempuan. Di Spanyol misalnya, data The Guardian nunjukkin lebih dari 60% perempuan di industri film pernah alami kekerasan seksual.

Yang bikin miris, 92% milih diam. Kenapa? Takut karier hancur, takut disalahkan, takut nggak ada yang percaya. Sounds familiar? Sayangnya ini bukan cuma cerita di luar negeri. Di Indonesia? Kurang lebih sama.

Sering kan dengar kalimat-kalimat ini:

“Ah masa sih? Kayaknya dia baik-baik aja deh.”

“Jangan lebay, udah lama juga kejadiannya.”

“Pasti dia juga ada salahnya…”

Dan begitu suara korban diremehkan atau dianggap cuma drama, luka itu makin dalam. Makin susah sembuhnya. Karena sebelum butuh solusi, korban trauma cuma pengen satu hal simpel: didengar, diakui, dibenarkan.

Psikiater Judith Lewis Herman bilang, pengakuan atas penderitaan adalah langkah pertama buat penyembuhan. Kedengarannya gampang, ya? Tapi nyatanya, di budaya kita yang masih suka victim blaming, ini mahal banget harganya.

Yang lebih bikin hati meringis: trauma perempuan sering diwariskan turun-temurun. Bukan cuma lewat cerita, tapi lewat pola pikir, cara ngelihat dunia, cara membesarkan anak. Kalau ibu kita nggak pernah sembuh dari lukanya, bisa jadi kita yang tanpa sadar mewarisi ketakutannya.

Siklus ini bisa muter terus sampai ada yang berani bilang: "Stop, aku mau hidup dengan cara yang lebih sehat."

Tapi kabar baiknya, luka ini bisa sembuh. Ada perempuan-perempuan yang justru bangkit lebih kuat dari trauma mereka. Psychology Today nyebut ini sebagai post-traumatic growth – tumbuh jadi pribadi baru yang lebih tangguh, lebih tahu diri, lebih paham apa yang penting dalam hidup.

Caranya? Tentu saja tidak instan, dan tak bisa pakai mantra sulap. Tapi bisa mulai dari hal kecil: punya seseorang yang mau dengar tanpa nge-judge. Seperti kata Peter Levine, ahli trauma terkenal, didengarkan dengan empati bisa jadi pengalaman penyembuhan paling kuat.

Kadang yang dibutuhkan perempuan bukan motivasi toxic ala “Ayo semangat, kamu kuat kok!” Tapi pelukan hangat (meski virtual), atau kalimat sederhana:

"Aku percaya sama ceritamu."

"Nggak apa-apa kalau masih sakit."

"Kamu nggak salah."

Kita semua bisa jadi support system itu. Buat sahabat, adik, ibu, bahkan diri sendiri. Karena jujur aja, mungkin kita juga sedang menyembuhkan trauma yang lama kita tutup-tutupi.

Trauma memang nggak kelihatan di permukaan. Tapi kalau kita berani lihat, terima, dan pelan-pelan rawat, dia nggak akan lagi menguasai hidup kita. Luka boleh ada, tapi hidup tetap bisa berjalan. Bahkan, mungkin bisa lebih utuh dari sebelumnya.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini