Ragam

Curhat Netizen: Kenapa Standar Sosial Selalu Memihak Laki-Laki dan Menekan Perempuan?

Standar sosial sering kali terasa nggak adil terhadap perempuan. Benarkah masyarakat masih pilih kasih?

Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Angeline Sophie (Instagram/angeline_sophie)
Angeline Sophie (Instagram/angeline_sophie)

Dewiku.com - Baru-baru ini ramai jadi perbincangan di media sosial usai muncul unggahan video yang membahas standar sosial di mana perempuan masih kerap dipojokkan. Dalam unggahan akun Instagram @angeline_sophie, standar yang terkesan pilih kasih ini jadi topik utama.

“Istri sakit, suami boleh poligami. Suami sakit, istri harus temenin. Kenapa ya sosial itu kejam ke perempuan dan terlalu baik ke laki-laki?” ungkap pembuat konten membuka narasinya.

Bukan sekadar opini kosong, statement tersebut memang banyak terjadi dan ditemui di real life. Bahkan Angeline Sophie, si pembuat konten, juga menuding kalau perempuan jadi “warga kelas dua” di lingkungan sosial.

“Social itu benar-benar nganggap perempuan sebagai second class citizen. Kita lihat aja, sebutan pelakor cuma ada buat cewek. Kan selingkuh itu butuh dua orang, it takes two to tango,” jelas Angeline Sophie.

Nggak sampai di situ, dalam video tersebut juga dipertanyakan status perempuan yang sering kena sangsi sosial dan dihukum dalam masyarakat.

“Tapi kenapa yang dihukum selalu perempuan? Katanya perempuan itu diistimewakan tapi kenyataannya perempuan paling sering kena hakim sosial,” pungkasnya menutup narasi.

Perempuan dan Beban Standar Sosial

Di banyak budaya, termasuk di Indonesia, perempuan sering kali menjadi pihak yang paling banyak mendapat sorotan ketika berbicara soal nilai-nilai moral, kesetiaan, hingga peran dalam keluarga.

Seolah-olah ada “standar sosial” tak tertulis yang membuat perempuan harus selalu tampil sempurna dengan tetap setia, patuh, berperilaku santun, dan menjaga citra. Sayangnya, standar itu nggak selalu berlaku sama bagi laki-laki.

Saat perempuan melakukan hal-hal di luar standar, dampaknya bisa panjang dan jadi bahan omongan. Sementara kalau hal serupa dilakukan laki-laki, respons publik kerap terasa lebih ringan. Beban standar sosial dan sangsinya seolah masyarakat jadi pilih kasih.

Tuntutan Kesetiaan Sepihak

Salah satu contoh nyata adalah soal kesetiaan dalam hubungan. Perempuan dituntut untuk selalu menjaga komitmen dengan kesetiaan, termasuk saat suami divonis mandul. Tapi sebaliknya, fakta perempuan yang mandul justru mempermudah jalur poligami bagi laki-laki.

Di sisi lain, kasus perselingkuhan juga kerap menempatkan perempuan sebagai pelaku satu-satunya. Padahal selingkuh dilakukan dua orang dan nggak mungkin terjadi kalau hanya salah satu pihak yang mau.

Sebaliknya, saat laki-laki melakukan hal serupa, narasinya sering melunak dan dianggap “khilaf”, “godaan sesaat” atau malah dijustifikasi dengan kalimat klasik, “namanya juga laki-laki”. Standar ganda ini jelas nggak adil buat jadi beban sepihak.

Penghakiman Sosial di Media Sosial

Di era digital, penghakiman sosial bahkan semakin terasa tajam. Medsos jadi ruang publik yang menempatkan perempuan sebagai sasaran cibiran. Bahkan, kasus perceraian pun sering kali menempatkan perempuan sebagai pihak yang “disalahkan”.

Tidak jarang perempuan dituding gagal menjaga rumah tangga, meskipun sebenarnya masalah rumah tangga juga melibatkan dua pihak. Ironisnya, netizen sering memberikan “diskon kesalahan” kepada laki-laki.

Akibatnya, perempuan harus menanggung beban ganda, menghadapi masalah pribadinya sekaligus menghadapi penghakiman sosial yang kejam akibat pilih kasih yang mengakar dalam budaya patriarki.

Ajaran patriarki yang tertanam sejak kecil ini kemudian berlanjut hingga dewasa. Perempuan jadi lebih tertekan oleh ekspektasi sosial dan laki-laki punya ruang toleransi serta otoritas yang lebih besar.

Saatnya Mengubah Perspektif

Sebenarnya, standar sosial yang pilih kasih ini merugikan semua pihak. Perempuan jelas jadi korban, tapi laki-laki pun bisa kehilangan kesempatan untuk belajar bertanggung jawab secara setara.

Oleh karena itu, penting untuk mulai mengubah perspektif. Kesetiaan, komitmen, dan tanggung jawab sosial harus jadi nilai yang berlaku dua arah agar perempuan maupun laki-laki diperlakukan dengan standar yang sama.

 

Berita Terkait

Berita Terkini