Self-Silence, Ketika Diam Membebani Kesehatan Mental

Self-silence muncul ketika seseorang memilih untuk mengorbankan kebutuhan atau pendapat pribadi demi menjaga harmoni atau hubungan dengan orang lain.

By: Risna Halidi icon Selasa, 17 Desember 2024 icon 08:30 WIB
Self-Silence, Ketika Diam Membebani Kesehatan Mental

Ilustrasi: Self-silence/Perempuan sedih. (Pexels)

Self-silence adalah kebiasaan menahan diri untuk berbicara atau mengungkapkan pendapat akibat rasa takut, ragu, atau tekanan sosial.

Dalam konsep Self-Silencing Theory yang dikembangkan oleh psikolog klinis Dana Jack, perilaku ini muncul ketika seseorang memilih untuk mengorbankan kebutuhan atau pendapat pribadi demi menjaga harmoni atau hubungan dengan orang lain.

Perempuan sedih. (Unsplash/Aricka Lewis)
Ilustrasi: Self-silence/Perempuan sedih. (Unsplash/Aricka Lewis)

Amber A. Price, seorang konselor kesehatan mental, menjelaskan bahwa self-silence bukan hanya tentang memilih untuk diam, tetapi merupakan mekanisme adaptasi yang sering kali membawa dampak buruk bagi kesehatan mental.

Baca Juga: Perempuan Lebih Rentan Stres: Tuntutan Sosial vs Kesehatan Mental, Bagaimana Cara Mengatasinya?

Studi menunjukkan bahwa kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko depresi, kecemasan, hingga memengaruhi kesehatan fisik akibat emosi yang terus-menerus ditekan.

Sahla, seorang mahasiswa UIN Jakarta, mengungkapkan bahwa ia sering mengalami self-silence, terutama di lingkungan keluarga.

"Kalau ada masalah antara Bunda atau Ayah, biasanya aku lebih memilih diam. Bahkan saat Bunda curhat, aku cuma bisa jadi pendengar tanpa ambil tindakan. Dari kecil, tindakan aku sering dianggap nggak serius oleh keluarga, dan jarang banget dilibatkan untuk hal-hal penting seperti memilih sesuatu. Akhirnya, aku jadi merasa harus selalu ikut apa pun pilihan mereka, yang bikin aku lebih memilih untuk diam," ujarnya.

Baca Juga: Pekerja Butuh Konsultasi Psikologi, Ini Pentingnya Mengaja Kesehatan Mental di Lingkungan Profesional

Pengalaman ini mencerminkan tekanan sosial yang dialami banyak individu, di mana mereka merasa suara mereka tidak cukup penting untuk didengar.

Perilaku self-silence ini membawa dampak besar pada kesehatan mental dan hubungan sosial.

Sahla mengaku bahwa kebiasaan menahan diri untuk berbicara kerap membuatnya merasa kehilangan hak untuk menyampaikan pendapat, meskipun ia merasa hal itu penting.

"Kadang rasanya nyesek banget. Aku jadi sedih karena merasa nggak punya hak buat ngomong atau berpendapat," katanya.

Perasaan ini sejalan dengan temuan Dana Jack yang menunjukkan bahwa self-silence dapat membuat individu kehilangan identitas diri dan memicu perasaan tidak berdaya yang berujung pada depresi.

Pengalaman Sahla juga menunjukkan bahwa self-silence sering kali membawa penyesalan.

"Aku sering mikir, ‘Duh, harusnya aku utarain aja pendapat aku biar ujungnya nggak begini.’ Tapi aku terlalu takut buat ngomong karena malu atau takut orang mikir opini aku jelek," jelasnya.

Ketakutan ini bahkan merembet ke lingkungan kerja, seperti yang ia alami saat menjadi anggota muda di organisasi kampus.

"Waktu rapat, aku ngerasa rapat itu butuh banget kritik atau saran, tapi aku malah diem karena takut opini aku dianggap jelek. Akhirnya, aku ngerasa beberapa orang jadi ngeremehin aku karena dianggap nggak bisa berpendapat," tambahnya.

Studi yang membahas self-silence, termasuk penelitian Dana Jack, menunjukkan bahwa perilaku ini bukanlah solusi yang sehat untuk menghindari konflik atau menjaga hubungan.

Diam yang terus-menerus justru dapat merusak hubungan, membatasi potensi individu, dan membebani kesehatan mental.

Dengan langkah-langkah kecil seperti membangun kepercayaan diri dan memulai percakapan dalam lingkungan yang mendukung, kebiasaan self-silence dapat diatasi.

Baca Juga: 5 Cara Tenangkan Pikiran, Lepaskan Stres untuk Menjaga Kesehatan Mental

Penulis: Nurul Lutfhia Mawardi

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI