Ragam

Kenapa Perempuan Sering Bilang "Aku Baik-Baik Saja" Padahal Tidak?

Banyak perempuan mengatakan "Aku baik-baik saja" meski sebenarnya tidak. Kenapa kalimat sederhana ini jadi tameng andalan di tengah tekanan sosial, tuntutan peran, dan standar sempurna yang dibebankan pada mereka?

Vania Rossa

Ilustrasi Perempuan Bilang
Ilustrasi Perempuan Bilang "Aku Baik-Baik Saja" (Freepik)

Dewiku.com - Kalimat "Aku baik-baik saja" mungkin terdengar ringan di telinga. Seolah jadi jawaban standar ketika ditanya kabar, tanpa drama, tanpa beban.

Padahal di balik kalimat singkat ini, sering tersembunyi perasaan lelah, kecewa, marah, atau bahkan luka lama yang belum sembuh.

Bagi banyak perempuan, berkata sejujurnya soal isi hati terasa lebih berat ketimbang memendam dan memasang wajah kuat.

Ada tuntutan sosial tak kasatmata untuk selalu tampil tangguh, terlihat bahagia, dan menjalankan semua peran tanpa keluhan—sebagai anak, istri, ibu, pekerja, sahabat.

Akhirnya, "Aku baik-baik saja" menjadi tameng otomatis yang dipakai demi menghindari penilaian, rasa malu, atau sekadar karena tak ingin repot menjelaskan luka yang orang lain belum tentu mengerti.

Mengakui Kesusahan Diartikan Sebagai Kelemahan

Melansir Psychology Today, perempuan cenderung menyembunyikan tekanan emosional demi mempertahankan citra diri yang kuat dan stabil.

“Perempuan diajarkan untuk bersikap menyenangkan dan menahan emosi. Mengakui kesusahan sering diartikan sebagai kelemahan,” ujar Dr. Ellen Hendriksen, seorang psikolog klinis.

Tekanan ini tidak muncul begitu saja, di mana ia tumbuh dari konstruksi sosial yang rumit dan tertanam sejak dini.

The Guardian menyebut fenomena ini sebagai “The Perfect Show” pertunjukan sempurna di mana perempuan terus-menerus memoles diri demi memenuhi standar orang lain atau bayangan ideal yang mereka lihat di media.

Hal ini diperparah dengan budaya media sosial, di mana kehidupan yang dipamerkan di sana sering kali hanya versi terbaik, bukan yang sebenarnya.

Unggahan penuh kebahagiaan, pencapaian, dan kebersamaan kerap menciptakan standar yang tidak realistis, bahkan bagi diri sendiri.

Di balik foto keluarga yang harmonis atau caption penuh semangat, bisa jadi ada kelelahan, kecemasan, dan kesepian yang tak tampak.

Rentan Terhadap Perfeksionisme

Dr. Brené Brown, profesor riset di University of Houston, menegaskan bahwa perfeksionisme bukanlah bentuk dari usaha menjadi yang terbaik.

“Perfeksionisme adalah keyakinan bahwa jika kita terlihat sempurna, bertindak sempurna, dan hidup sempurna, kita bisa menghindari rasa sakit karena disalahkan, dihakimi, dan dipermalukan,” jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap perfeksionisme karena tuntutan sosial yang diwariskan secara turun-temurun.

Dampaknya tidak main-main, survei dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa 1 dari 3 perempuan dewasa di Amerika mengalami gejala gangguan kecemasan.

Banyak di antara mereka merasa perlu menyembunyikan stres, karena takut dianggap lemah atau tidak kompeten.
Perempuan juga selalu diajarkan untuk selalu menjadi penjaga emosi, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain di sekitarnya.

Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, seorang perempuan menangis diam-diam di kamar mandi kantor setelah rapat penuh tekanan, lalu kembali ke mejanya dengan senyum profesional dan seorang ibu yang kelelahan dan hampir runtuh, tetap berkata “semua baik-baik saja” saat ditanya kabarnya.

Namun, hal Ini bukan hanya tentang menjaga wajah, tetapi tentang menanggung beban ekspektasi yang tidak manusiawi.

Lantas, bagaimana kita mulai mengubahnya?

Langkah pertama adalah keberanian untuk jujur terutama kepada diri sendiri, memberi izin pada diri sendiri untuk tidak selalu kuat, untuk merasa sedih, kecewa, lelah, dan mengakuinya, adalah bentuk kekuatan sejati.

Mengatakan “aku tidak baik-baik saja” bukanlah kelemahan, melainkan bentuk perlawanan terhadap budaya kesempurnaan palsu.

Dengan menjadi nyata dan membuka ruang untuk ketidaksempurnaan, perempuan bisa membangun kesehatan mental yang lebih sehat dan hubungan yang lebih autentik baik dengan diri sendiri, maupun dengan dunia.

Karena kadang, kekuatan terbesar justru muncul ketika kita berhenti berpura-pura kuat.

(Mauri Pertiwi)

Berita Terkait

Berita Terkini