Ragam
Gen Z dan 3 Kebohongan Digital: Terlihat Oke, Padahal Rapuh?
Kebohongan fatal yang kamu ciptakan sendiri hanya akan membuka jalan pada keterpurukan. Hati-hati jangan sampai terjebak standar medsos.
Vania Rossa | Estika Kusumaningtyas

Dewiku.com - Kamu nyadar nggak kalau sudah terjebak dalam kebohongan fatal di era digital ini? Terkadang perilaku semacam ini sering dilakukan tanpa sadar karena asal FOMO dan terombang-ambing standar medsos yang nggak selalu positif.
Kejujuran di zaman serba online ini bukan lagi soal tatap muka, tapi juga tentang integritas online. Namun, Gen Z yang tumbuh besar bersama kemajuan teknologi sering kali jadi mudah melakukan kebohongan kecil yang berpotensi fatal.
Entah itu manipulasi identitas, kebutuhan validasi, hingga fake lifestyle di media sosial, kebohongan tersebut bisa berdampak pada kesehatan mental, reputasi digital, hingga hubungan sosial kalau dilakukan terus-menerus.
Kamu Gen Z dengan potensi terjebak kebohongan fatal di era digital? Coba cek beberapa hal berikut, siapa tahu kamu pernah melakukannya juga.
1. Terlalu Sibuk Pencitraan
Sekarang ini banyak Gen Z yang terobsesi pada citra diri hingga merasa perlu buat jaga image, terutama di medsos. Semua konten dipoles agar tampak sempurna meski harus kehilangan waktu, uang, bahkan energi demi terlihat sukses dan bahagia.
Gen Z disibukkan dengan mengatur pose paling oke buat feed Instagram, rela nongkrong di kafe viral demi bisa update story, sampai bikin quote self-love yang nggal relate sama kondisi diri sendiri. Saking sibuknya ‘bungkus diri’, perjuangan semu ini malah bikin otak kosong dan skill minus.
Sayangnya, pencitraan ini jadi mudah terbaca karena orang-orang mulai peka sama kepalsuan. Orang pun semakin paham mana yang real konten dan mana yang cuma settingan. Tapi kamu justru terlena pada kebohongan yang diciptakan sendiri ini dan jadi gagal berkembang karena sibuk ‘menikmati’ fake reality.
2. Konsumtif Demi Validasi
Kebohongan fatal selanjutnya yang banyak dilakukan Gen Z adalah perilaku konsumtif hanya demi validasi eksternal. Nggak perlu muluk, kalau kamu hobi belanja cuma buat gaya juga sudah masuk jebakan dunia medsos, kok.
Baca Juga
Parenting ala Natasha Rizky: Ikut Main Roblox Demi Jagain Anak dari Bahaya Game Online
Konser Mini di Rapat Dewan? Aksi Melly dan Giring Bikin Heboh!
Mertua Goals: Dona Harun Minta Izin Mantu Sebelum Kasih Gadget ke Cucu
Zodiak vs Mantan: Siapa yang Gampang Balikan, Siapa yang Auto Blokir?
Dari Mantan Sampai HP Hilang: Ini Arti Mimpi yang Sering Bikin Cemas Gen Z
Presenter Jadi Pejabat, Gaji Berlipat! Kekayaan Tina Talisa Melonjak Drastis Gara-Gara Rangkap Jabatan
Misalnya, beli kopi mahal tiap hari, pakai outfit terbaru yang hypebeast, sampai ngoyo daftar pinjol cuma buat beli gadget paling anyar biar kelihatan keren. Perilaku ini cuma jadi bukti kalau sikap konsumtif hanya demi sebuah pengakuan yang sebenarnya semu.
Beli sesuatu cuma biar dipuji juga merupakan imbas dari standar medsos di mana banyak penggunanya malah berlomba pamer lifestyle. Kita takut ketinggalan tren dan menghalalkan belanja nggak jelas dengan alasan “self-reward”.
Ujungnya, barang jadi numpuk, uang habis, tapi hati tetap kosong. Ini tanda kalau validasi eksternal itu bak candu yang nggak akan pernah cukup mengisi self-worth. So, berhenti belanja kalau cuma buat impress orang lain dan mulai belajar skill investasi yang lebih berguna.
3. Terlalu Takut Gagal
Ibarat penyakit menular, Gen Z juga mudah diserang pemikiran takut gagal meski belum mulai melangkah. Bahkan belum mencoba juga udah mikir buat mundur sampai akhirnya malah jadi nggak jalan ke mana-mana.
Alasan umum rasa takut gagal dan nggak berani mencoba hal baru ini karena Gen Z mudah overthinking dan memilih berada di zona nyaman saja. Padahal zona nyaman juga bisa jadi penjara yang mengekang potensi, lho.
Gagal itu proses, dan kita boleh gagal asal mau terus bangkit untuk mencoba lagi. Tapi kalau memilih diam, ya bakal gagal beneran. Nggak harus sempurna buat mulai mencoba, hanya perlu niat dan semangat untuk memulai mulai kalau mau berkembang.
Rasa takut itu normal, tapi jangan sampai memilih diam karena saat kamu nggak mau mencoba ya siap-sap gagal selamanya. Coba, gagal, belajar, lalu ulangi dan biarkan pengalaman ini jadi guru terbaik yang akan terus mendorongmu untuk maju.