Trending

Second Account Mau Dilarang? Padahal Hampir Setengah Gen Z Punya Lebih dari Satu Akun!

DPR RI mewacanakan pelarangan second account demi menjaga ruang digital tetap sehat. Tapi sebenarnya, kenapa sih banyak orang justru sengaja bikin akun lebih dari satu? Ini alasannya!

Vania Rossa

Ilustrasi second account. (Freepik)
Ilustrasi second account. (Freepik)

Dewiku.com - Fenomena second account alias akun kedua di media sosial bukan hal baru, apalagi di kalangan Gen Z. Menurut survei HAI yang melibatkan 300 responden, sebanyak 46% remaja mengaku punya lebih dari satu akun. Nggak heran, karena satu akun seringkali dirasa nggak cukup buat mewakili semua sisi kehidupan online seseorang.

Namun baru-baru ini, muncul usulan dari DPR RI yang cukup kontroversial: larangan membuat akun media sosial lebih dari satu. Usulan ini dilontarkan oleh Oleh Soleh, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKB, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama platform seperti YouTube, Meta, dan TikTok.

Menurut Oleh, akun ganda seringkali jadi lahan berkembangnya buzzer tidak kredibel yang menyebarkan informasi menyesatkan. Untuk mengatasi hal tersebut, ia mendorong agar baik individu, lembaga, hingga perusahaan tidak diberi keleluasaan memiliki lebih dari satu akun. Katanya, ini bisa jadi langkah terakhir untuk menciptakan ekosistem media sosial yang lebih sehat.

Tapi, apa benar second account selalu identik dengan penyalahgunaan?

Kenapa Banyak Orang Punya Second Account?

Mengutip dari Buletin KPIN, alasan orang punya lebih dari satu akun nggak selalu negatif. Justru banyak yang punya motivasi positif, seperti menjaga privasi. Akun utama biasanya terbuka untuk umum atau urusan pekerjaan, sementara akun kedua dibuat agar hanya teman-teman dekat yang bisa melihat isi postingan.

Second account juga jadi wadah untuk mengekspresikan diri secara bebas. Penelitian dari Prihantoro dkk mengungkap bahwa tingkat keterbukaan tiap individu berbeda-beda tergantung kepribadiannya. Akun cadangan membuat seseorang merasa lebih nyaman, lebih percaya diri, dan bisa membagikan hal-hal personal tanpa takut dihakimi.

Biasanya, komunikasi di second account juga terasa lebih akrab karena isinya hanya orang-orang terdekat. Lingkungannya kecil, tapi lebih suportif.

Tapi Nggak Bisa Dipungkiri, Ada Juga yang Disalahgunakan

Meski banyak yang menggunakan akun kedua dengan niat baik, ada juga yang menyalahgunakannya. Beberapa orang bikin akun untuk stalking, mengomentari orang lain secara anonim, bahkan sampai menyebarkan ujaran kebencian karena alasan personal.

Penelitian dari Dewi dan Janitra juga menunjukkan bahwa sebagian anak-anak dan remaja menggunakan second account sebagai diary digital mereka. Tapi dalam praktiknya, ada juga yang menjadikan akun alter ini sebagai ruang bebas nilai—yang kadang melampaui batas etika.

Jadi, Larang Semua atau Edukasi Pengguna?

Pertanyaannya sekarang: apakah second account harus dilarang, atau justru perlu diatur dan diedukasi? Karena pada kenyataannya, satu akun seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan digital seseorang—baik secara profesional, sosial, maupun emosional.

Mungkin, daripada langsung membatasi jumlah akun, akan lebih bijak kalau fokusnya diarahkan ke penegakan etika dan literasi digital. Soal buzzer dan akun toxic, bukannya jumlah akun yang harus disorot, tapi perilaku penggunanya.

Punya second account itu bukan kejahatan. Yang jadi masalah adalah ketika akun tersebut dipakai untuk hal-hal yang merugikan orang lain. Jadi, daripada larang total, yuk bareng-bareng bijak bersosial media—mau satu akun atau sepuluh akun, yang penting tetap bertanggung jawab!

Berita Terkait

Berita Terkini