Perempuan ODHA Berhak Dapatkan Layanan Kesehatan Tanpa Stigma dan Diskriminasi
Stigma menghalangi perempuan dengan HIV/AIDS untuk mengakses layanan kesehatan yang inklusif.
Hak atas kesehatan merupakan hak asasi yang harus dijamin bagi setiap individu, termasuk orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Sejalan dengan peringatan Hari AIDS Sedunia 2024, setiap orang yang hidup dengan HIV dan AIDS, termasuk perempuan secara umum dan perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV dan AIDS, memiliki hak setara untuk mendapatkan layanan-layanan yang dibutuhkan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa pemenuhan hak atas kesehatan bagi ODHA, terutama perempuan, haruslah dibarengi dengan upaya menghapus stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan. Dengan begitu, akan tercipta layanan dan penanganan kesehatan yang inklusif.
"Upaya tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak warganya sebagaimana janji konstitusi kita," kata Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan, dikutip Dewiku.com dari siaran pers, Minggu (8/12/2024).
Baca Juga: Tangga Karier Qudsiah Firdausi, Yakin Bahwa Semua Perempuan Bisa Jadi Pemimpin
Ada sejumlah catatan penting terkait stigma HIV/AIDS. Pertama, stigma masyarakat mengenai penyakit HIV/AIDS sebagai akibat dari kehidupan seks yang berganti-ganti pasangan atau pengguna narkoba suntik berdampak pada perlakuan diskriminasi, merendahkan, perlakuan kasar, dan pembiaran baik di dalam keluarga, lingkungan sosial maupun pelayanan kesehatan.
Kedua, stigma dan diskriminasi yang dialami oleh ODHA tidak saja dilakukan oleh masyarakat, keluarga, negara, tetapi juga petugas medis yang berkewajiban memberikan layanan kesehatan. Selain itu, stigma telah mempengaruhi akses perempuan dengan HIV/AIDS yang membutuhkan layanan kesehatan reproduksi serta pengobatan atas adiksi narkoba.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa perempuan dengan HIV sering kali menghadapi diskriminasi ganda. Bukan cuma karena status HIV mereka, tetapi juga diskriminasi gender.
Baca Juga: Jeritan Bisu Korban Kekerasan: Perempuan Berhak Aman dari Rasa Takut
"Perempuan mengalami stigmatisasi dari keluarga, teman, dan bahkan tenaga medis yang seharusnya memberikan perawatan dan dukungan yang pada akhirnya dapat menghalangi akses mereka ke perawatan medis yang memadai, dukungan sosial, dan pekerjaan," ujarnya.
Hal ini juga menunjukkan adanya persinggungan antara isu kekerasan terhadap perempuan dan HIV/AIDS. Data United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2019 memperlihatkan bahwa perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya.
Pada tahun yang sama, National Plan of Action (NACA) mencatat bahwa perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan perempuan positif 6 kali lipat rentan kekerasan fisik di masa kehamilan. Data ini diperkuat dengan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 yang menunjukkan perempuan dengan status menikah dengan HIV lebih banyak mengalami kekerasan yaitu 32 korban, belum menikah berjumlah 22 korban dan 8 orang dengan status cerai dengan pelaku kekerasan sebagian besar adalah suami.
"Pendekatan berbasis hak merupakan langkah mendesak yang harus segera ditempuh oleh para pemangku kebijakan melalui layanan terintegrasi di setiap layanan kesehatan yang saat ini belum tersedia di semua wilayah bagi perempuan dan perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV dan AIDS karena memiliki kerentanan berlapis dan lapisan pemulihan yang lebih kompleks," papar Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.
Negara tentu saja harus mendukung upaya tersebut melalui kebijakan. Hal ini utamanya untuk memastikan bahwa setiap orang, termasuk perempuan, di mana pun mereka berada, memiliki hak atas layanan perawatan kesehatan yang bermutu dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah memandatkan pada Pasal 167 bahwa layanan HIV dan AIDS merupakan bagian dari layanan tingkat pertama atau layanan primer yang harus tersedia mulai dari puskesmas, klinik pratama, dan praktik mandiri tenaga medis atau tenaga kesehatan.
Selain layanan kesehatan berupa perawatan lanjutan, akses pada obat-obatan dan edukasi kepada masyarakat juga harus intensif dilakukan di semua sektor.
Baca Juga: Kerap Dibandingkan, Benarkah Perempuan Independen Jadi Ancaman Bagi Pria Mapan?
"Ini karena masih terbatasnya pemahaman tentang HIV dan AIDS tersebut, seperti alur penularan sebagai ruang pencegahan sekaligus tanggung jawab bersama dengan bingkai hak asasi manusia," tandas Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan.
BERITA TERKAIT
Berhenti jadi People Pleaser, Begini Cara Prioritasin Dirimu Sendiri!
Rabu, 15 Januari 2025 | 12:17 WIBMengenal Gamophobia: Ketika Pernikahan Menjadi Mimpi Buruk
Selasa, 14 Januari 2025 | 10:30 WIBMati Rasa atau Meledak-Ledak: Bagaimana Cara Kamu Mengelola Stres?
Jumat, 10 Januari 2025 | 09:30 WIBBERITA TERKINI