Ancaman Kekerasan Seksual di Era Digital, Pelakunya Kebanyakan Mantan Pacar
Begini realita kekerasan seksual berbasis gender yang juga rawan terjadi di ruang siber.
Sebagian besar pelaku kekerasan seksual berbasis gender (KSBG) merupakan orang yang menjalin hubungan personal dengan korban. Banyak pula pelaku yang mulanya dikenal korban di ruang siber.
Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pelaku KSBG kebanyakan adalah mantan pacar (402 kasus) dan orang yang masih berstatus kekasih (203 kasus). Tak sedikit pula yang diketahui merupakan teman daring (108 kasus), kenalan online (67 kasus), dan teman korban (51 kasus).
"Temuan terkait relasi antara korban dengan pelaku KSBG ini semakin menegaskan bahwa pelaku kekerasan sebagian besar menjalin hubungan personal dengan korban," ungkap komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, dalam diskusi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bersama UNiTE di Jakarta, Minggu (8/12/2024) kemarin, dilansir Dewiku.com dari Suara.com.
Baca Juga: Jeritan Bisu Korban Kekerasan: Perempuan Berhak Aman dari Rasa Takut
KSBG semakin mengkhawatirkan seiring dengan perkembangan teknologi di era digital. Korban sangat mungkin mengalami kekerasan meski tidak bertemu langsung dengan pelaku.
"Hal ini menunjukkan KSBG dapat dilakukan oleh orang yang dikenal baik oleh korban di ruang fisik maupun di ruang siber," ujar Rainy.
Dijelaskan pula bahwa KSBG melalui konten digital termasuk dalam ranah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), tak terkecuali berbagai penyalahgunaan artificial Intelligence. Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat tindakan KSBE mencapai 1.446 kasus, jauh lebih tinggi daripada nonseksual sejumlah 127 kasus.
Di sisi lain, masih banyak korban tidak berani mengungkapkan kekerasan yang mereka alami, apalagi melaporkannya kepada pihak berwenang. Salah satu penyebabnya adalah fenomena victim blaming atau situasi di mana korban disalahkan atas kejahatan atau tragedi yang menimpa mereka.
Victim blaming sering terjadi pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya, banyak korban tak punya keberanian untuk speak up karena takut disalahkan dihakimi, bahkan oleh orang terdekat mereka.
Dampak victim blaming pun bisa sangat fatal, seperti menyebabkan gangguan kecemasan, stres pascatrauma atau PTSD, hingga depresi.
Perihal victim blaming, Komnas Perempuan baru-baru ini meminta masyarakat berhenti menyalahkan perempuan korban kekerasan. Korban mestinya mendapat perlindungan, termasuk dukungan dari orang-orang terdekat serta lingkungan sekitarnya.
"Setop menyalahkan korban kekerasan, termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," ungkap komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, saat media talk bertajuk "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan" di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (29/11/2024) lalu.
Sementara itu, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) dilaksanakan mulai 25 November hingga 10 Desember 2024 yang juga bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Baca Juga: KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar
Berlangsung selama 10 hari, kampanye 16HAKTP diharapkan menjadi momentum untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.
BERITA TERKAIT
Pemerintah Kaji Aturan Batas Usia Main Media Sosial untuk Anak, Apa Kata Bunda?
Jumat, 17 Januari 2025 | 09:30 WIBRealita Sekolah Swasta, Selalu Lebih Baik dari Sekolah Negeri?
Kamis, 16 Januari 2025 | 13:45 WIBDari Rumah Tangga Hingga Karier, Ada Beban "Blame the Women Syndrome" yang Mencekik Perempuan
Rabu, 15 Januari 2025 | 19:47 WIBBerhenti jadi People Pleaser, Begini Cara Prioritasin Dirimu Sendiri!
Rabu, 15 Januari 2025 | 12:17 WIBMengenal Gamophobia: Ketika Pernikahan Menjadi Mimpi Buruk
Selasa, 14 Januari 2025 | 10:30 WIBBERITA TERKINI