Ancaman Kekerasan Seksual di Era Digital, Pelakunya Kebanyakan Mantan Pacar

Begini realita kekerasan seksual berbasis gender yang juga rawan terjadi di ruang siber.

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Senin, 09 Desember 2024 icon 12:24 WIB
Ancaman Kekerasan Seksual di Era Digital, Pelakunya Kebanyakan Mantan Pacar

Ilustrasi pelaku kekerasan seksual berbasis gender di ruang digital. (Freepik)

Sebagian besar pelaku kekerasan seksual berbasis gender (KSBG) merupakan orang yang menjalin hubungan personal dengan korban. Banyak pula pelaku yang mulanya dikenal korban di ruang siber.

Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pelaku KSBG kebanyakan adalah mantan pacar (402 kasus) dan orang yang masih berstatus kekasih (203 kasus). Tak sedikit pula yang diketahui merupakan teman daring (108 kasus), kenalan online (67 kasus), dan teman korban (51 kasus).

"Temuan terkait relasi antara korban dengan pelaku KSBG ini semakin menegaskan bahwa pelaku kekerasan sebagian besar menjalin hubungan personal dengan korban," ungkap komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, dalam diskusi 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bersama UNiTE di Jakarta, Minggu (8/12/2024) kemarin, dilansir Dewiku.com dari Suara.com.

Baca Juga: Jeritan Bisu Korban Kekerasan: Perempuan Berhak Aman dari Rasa Takut

KSBG semakin mengkhawatirkan seiring dengan perkembangan teknologi di era digital. Korban sangat mungkin mengalami kekerasan meski tidak bertemu langsung dengan pelaku.

"Hal ini menunjukkan KSBG dapat dilakukan oleh orang yang dikenal baik oleh korban di ruang fisik maupun di ruang siber," ujar Rainy.

Dijelaskan pula bahwa KSBG melalui konten digital termasuk dalam ranah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), tak terkecuali berbagai penyalahgunaan artificial Intelligence. Pada 2020, Komnas Perempuan mencatat tindakan KSBE mencapai 1.446 kasus, jauh lebih tinggi daripada nonseksual sejumlah 127 kasus.

Baca Juga: Setop Diskriminasi! Saatnya Perempuan Disabilitas Berpartisipasi Lebih Aktif dalam Pembangunan Inklusif

Di sisi lain, masih banyak korban tidak berani mengungkapkan kekerasan yang mereka alami, apalagi melaporkannya kepada pihak berwenang. Salah satu penyebabnya adalah fenomena victim blaming atau situasi di mana korban disalahkan atas kejahatan atau tragedi yang menimpa mereka.

Victim blaming sering terjadi pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Akibatnya, banyak korban tak punya keberanian untuk speak up karena takut disalahkan dihakimi, bahkan oleh orang terdekat mereka.

Dampak victim blaming pun bisa sangat fatal, seperti menyebabkan gangguan kecemasan, stres pascatrauma atau PTSD, hingga depresi. 

Perihal victim blaming, Komnas Perempuan baru-baru ini meminta masyarakat berhenti menyalahkan perempuan korban kekerasan. Korban mestinya mendapat perlindungan, termasuk dukungan dari orang-orang terdekat serta lingkungan sekitarnya.

"Setop menyalahkan korban kekerasan, termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," ungkap komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, saat media talk bertajuk "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan" di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (29/11/2024) lalu.

Sementara itu, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) dilaksanakan mulai 25 November hingga 10 Desember 2024 yang juga bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Baca Juga: KDRT di NTT, Ketidakberdayaan Perempuan Masih Menjadi Masalah Besar

Berlangsung selama 10 hari, kampanye 16HAKTP diharapkan menjadi momentum untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI