Ragam
Digital Sejak Lahir: Gen Alpha Butuh Orang Tua yang Siaga dan Nggak Gagap Teknologi
Gen Alpha lahir di era digital dengan jempol siap swipe sejak dini. Yuk, pahami pola berinternet mereka dan peran penting orang tua agar anak tetap aman, cerdas, dan bijak di dunia maya.
Vania Rossa

Dewiku.com - Ingat masa kecil saat Sabtu pagi kita habiskan nonton kartun di TV? Atau ngikutin tayangan Nickelodeon dan Disney Channel seharian? Nah, anak-anak Gen Alpha—mereka yang lahir antara tahun 2010 sampai 2024—punya cerita yang sangat berbeda.
Bagi mereka, layar pertama yang mereka kenal bukan televisi, tapi ponsel dan tablet. Saluran hiburan favorit? Bukan lagi TV kabel, tapi YouTube, TikTok, dan Twitch. Mulai dari video unboxing mainan, konten gaming, sampai live streaming kehidupan sehari-hari jadi tontonan harian. Dunia hiburan kini benar-benar di genggaman.
Lahir di Era Online: Internet Bukan Barang Baru
Gen Alpha adalah generasi pertama yang benar-benar lahir dan besar di tengah internet, media sosial, dan smartphone. Mereka nggak kenal istilah "nunggu acara jam tayang"—karena semuanya bisa ditonton on demand, sesuai selera, kapan pun mereka mau.
Psikolog klinis Michael Wetter mengatakan, anak-anak sekarang nggak cuma nonton—mereka juga aktif dalam konten: mengomentari, menyebarkan, bahkan membuat ulang (remix) video yang mereka suka. Dunia digital bukan cuma tempat hiburan, tapi juga sarana ekspresi dan pencarian identitas.
Dari Dora ke Blippi: Konten Anak Pun Berevolusi
Kalau anak milenial dulu tumbuh bareng Dora the Explorer atau Hannah Montana, anak Gen Alpha sekarang lebih kenal Cocomelon, Blippi, dan Ms. Rachel—semuanya dari YouTube. Survei dari Precise TV mencatat bahwa 87% anak usia 2–5 tahun lebih suka nonton YouTube dibanding TV tradisional.
Nggak heran juga kalau 40% anak usia 2 tahun sudah punya tablet sendiri, menurut laporan Common Sense Media. Praktis dan mudah dibawa ke mana-mana—itulah kenapa orang tua sering menyerahkan gawai untuk menemani anak di restoran, ruang tunggu, atau saat bepergian.
Twitch: Dunia Baru Anak yang Lebih Besar
Bagi anak yang lebih besar, Twitch jadi ruang bermain dan interaksi sosial yang baru. Dulu anak-anak bercita-cita jadi atlet atau penyanyi, sekarang mereka ingin jadi streamer terkenal atau bintang e-sports.
Baca Juga
Sri Mulyani Kena Reshuffle, Masih Adakah Sosok Perempuan di Kursi Kementerian Kabinet Merah Putih?
Sho Shibuya, Seniman Jepang yang Suarakan Indonesia Lewat Lukisan Merah Putih
Tips Aman Buat Perempuan Saat Ikut Aksi Demo: Lantang Tapi Tetap Selamat!
Mengenal Abigail Limuria, Generasi Muda Indonesia yang Lantang Bicara di Kancah Internasional
Kontras Banget! Ketika Indonesia Kurangi Anggaran, Vietnam Justru Sibuk Reformasi Pendidikan
Ruang Kerja Emil Dardak di Grahadi Hangus, Netizen Ikut Simpati: Orang Baik Juga Ikut Jadi Korban
Tapi ini bukan tanpa risiko. Karena Twitch bersifat live dan minim sensor, anak bisa terpapar bahasa kasar, perilaku ekstrem, atau komentar berbahaya dari penonton. Psikolog Scott H. Kollins mengingatkan bahwa dorongan untuk viral bisa membuat streamer bertingkah sembarangan demi perhatian.
Risiko di Balik Konten Digital
Meskipun ada YouTube Kids sebagai versi yang "lebih aman", nyatanya masih banyak konten yang tidak lolos filter. Titania Jordan dari Bark Technologies bilang, tidak ada teknologi yang bisa menggantikan keterlibatan orang tua.
Bukan cuma soal konten yang tidak layak, tapi juga soal dampak jangka panjangnya. Banyak anak kini menggunakan layar bukan hanya untuk hiburan, tapi juga sebagai pelarian emosional. Ketika stres atau bosan, yang dicari bukan orang tua atau teman, tapi... tablet.
Gejalanya bisa muncul lewat tantrum saat diminta berhenti menonton, sulit fokus di sekolah, atau kurangnya kemampuan berinteraksi secara langsung. Ini alarm yang perlu diperhatikan.
Peran Orang Tua: Jadi GPS, Bukan Polisi Digital
Lalu, apa yang bisa dilakukan orang tua?
Alih-alih melarang atau mengawasi dengan marah-marah, pendekatan yang lebih bijak dan kolaboratif justru lebih efektif. Anak perlu dibimbing, bukan diawasi secara kaku.
Berikut beberapa langkah yang bisa dicoba:
1. Buat zona bebas gawai – Misalnya saat makan bersama atau satu jam sebelum tidur.
2. Seimbangkan layar dengan aktivitas fisik dan sosial – Main di luar, seni, musik, dan kegiatan non-digital lainnya.
3. Buat kesepakatan keluarga tentang penggunaan internet – Bukan aturan sepihak, tapi hasil diskusi.
4. Tonton bersama anak dan diskusikan kontennya – Tanyakan pendapat mereka, dengarkan. Ini jadi momen belajar bersama.
Yang paling penting: jadilah teladan. Kalau anak lihat orang tuanya juga bijak menggunakan teknologi, mereka akan meniru.
Gen Alpha memang hebat dalam hal teknologi. Tapi tanpa bimbingan, kemampuan itu bisa jadi bumerang. Dengan mendampingi secara aktif, memahami dunia digital mereka, dan membangun komunikasi terbuka, orang tua bisa membantu anak tumbuh sebagai generasi yang:
- Cerdas digital
- Kritis dalam berpikir
- Tahu etika online
- Siap menghadapi tantangan zaman
Karena di era serba digital ini, peran orang tua bukan semakin kecil—justru makin besar dan strategis.
(Clarencia Gita Jelita Nazara)