Ragam
Cuti Haid untuk Mahasiswi: Kebijakan Inklusif yang Dukung Kesetaraan Gender di Kampus
Meskipun tidak ada kewajiban hukum seperti dalam konteks pekerja, cuti haid bagi mahasiswi menunjukkan kepedulian kampus terhadap kesehatan perempuan.
Vania Rossa

Dewiku.com - Mahasiswi sering menghadapi berbagai tantangan selama masa menstruasi, seperti rasa nyeri, perubahan hormon, hingga kekhawatiran akan kenyamanan.
Tantangan ini dapat memengaruhi produktivitas mereka di kampus. Oleh karena itu, pembahasan tentang kebijakan cuti haid bagi mahasiswi menjadi semakin relevan.
Aturan Cuti Haid Menurut Hukum
Baca Juga
Jangkauan Kampanye 16HAKTP Meluas, Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Butuh Komitmen Lintas Sektor
Di Balik Topeng Imposter Syndrome, Ketika Mahasiswa Merasa Tidak Layak Atas Pencapaian yang Didapat
Bila Esok Ibu Tiada: Seberapa Besar Pengaruh Seorang Ibu dalam Hidup Anak-Anaknya?
Bahasa Cinta yang Salah, Kenapa Silent Treatment Bikin Perempuan Sakit Hati
Rawan Jadi Korban Kekerasan, Perempuan dengan Disabilitas Hadapi Kerentanan Berlapis
Cegah Stunting Sebelum Genting, Perempuan Harus Jadi Pilar Utama
Berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan yang mengalami haid berhak tidak bekerja pada hari pertama dan kedua saat haid jika merasa sakit. Peraturan ini juga diperkuat dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pekerja yang tidak masuk kerja pada hari pertama dan kedua haid tetap berhak atas upah penuh.
Meskipun peraturan ini berlaku bagi pekerja, konsep serupa dapat diadaptasi di lingkungan kampus untuk mahasiswi.
Firly Amalia, mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat di UIN Jakarta, menyatakan bahwa kebijakan ini sangat penting untuk mendukung kesejahteraan mahasiswi.
Menstruasi dan Dampaknya pada Mahasiswi
Firly menyoroti bahwa rasa sakit yang dialami setiap individu saat menstruasi berbeda-beda.
"Beberapa mahasiswi mungkin mengalami nyeri yang sangat parah hingga tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, beberapa dosen di kampus mengharuskan adanya surat keterangan sakit untuk izin absen,” ungkapnya.
Menurut Firly, izin cuti haid seharusnya bisa lebih fleksibel, misalnya dengan menunjukkan catatan siklus menstruasi yang tercatat di aplikasi
Selain itu, Firly menjelaskan bahwa perubahan hormon selama menstruasi dapat memengaruhi suasana hati dan kemampuan berkonsentrasi.
"Pada masa menstruasi, hormon tubuh berubah, sehingga suasana hati lebih sensitif. Rasa tidak nyaman, pusing, hingga kekhawatiran akan 'bocor' membuat banyak mahasiswi merasa tidak percaya diri saat harus mengikuti perkuliahan," jelasnya.
Dampak fisik lain yang sering terjadi adalah anemia, yang bisa memperparah gejala seperti pusing, lemas, hingga risiko pingsan.
"Jika mahasiswi tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup atau tidak mengonsumsi suplemen, keluhan saat menstruasi bisa semakin berat," tambah Firly.
Cuti Haid Sebagai Solusi
Firly percaya bahwa cuti haid bukanlah langkah berlebihan, melainkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mahasiswi.
"Jika seseorang mengalami kram parah hingga tidak bisa diatasi dengan obat, istirahat menjadi sangat diperlukan. Bahkan, dalam kasus tertentu, pemeriksaan ke dokter mungkin dibutuhkan," tegasnya.
Kemudian, Firly juga menyatakan bahwa kebijakan ini dapat memberikan ruang bagi mahasiswi untuk pulih tanpa merasa khawatir kehilangan materi kuliah atau dianggap lalai.
Edukasi tentang menstruasi untuk pihak kampus dan mahasiswa juga perlu dilakukan agar kebijakan ini dapat diterapkan secara adil.
Kampus sebagai Tempat yang Inklusif
Firly berharap kampus-kampus di Indonesia dapat mulai menerapkan kebijakan cuti haid. Meskipun tidak ada kewajiban hukum seperti dalam konteks pekerja, langkah ini menunjukkan kepedulian kampus terhadap kesehatan mahasiswinya.
"Kebijakan ini tidak hanya memberikan waktu pemulihan, tetapi juga mencerminkan komitmen kampus dalam menciptakan lingkungan yang inklusif," tutup Firly.
(Nurul Lutfia Maryadi)