Cuti Haid untuk Mahasiswi: Kebijakan Inklusif yang Dukung Kesetaraan Gender di Kampus

Meskipun tidak ada kewajiban hukum seperti dalam konteks pekerja, cuti haid bagi mahasiswi menunjukkan kepedulian kampus terhadap kesehatan perempuan.

By: Vania Rossa icon Kamis, 12 Desember 2024 icon 18:57 WIB
Cuti Haid untuk Mahasiswi: Kebijakan Inklusif yang Dukung Kesetaraan Gender di Kampus

Ilustrasi mahasiswi (Freepik)

Mahasiswi sering menghadapi berbagai tantangan selama masa menstruasi, seperti rasa nyeri, perubahan hormon, hingga kekhawatiran akan kenyamanan.

Tantangan ini dapat memengaruhi produktivitas mereka di kampus. Oleh karena itu, pembahasan tentang kebijakan cuti haid bagi mahasiswi menjadi semakin relevan.

Aturan Cuti Haid Menurut Hukum

Berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan yang mengalami haid berhak tidak bekerja pada hari pertama dan kedua saat haid jika merasa sakit. Peraturan ini juga diperkuat dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pekerja yang tidak masuk kerja pada hari pertama dan kedua haid tetap berhak atas upah penuh.

Baca Juga: Womens March Jakarta 2024: Ribuan Suara Tuntut Akhiri Diskriminasi dan Patriarki

Meskipun peraturan ini berlaku bagi pekerja, konsep serupa dapat diadaptasi di lingkungan kampus untuk mahasiswi.

Firly Amalia, mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat di UIN Jakarta, menyatakan bahwa kebijakan ini sangat penting untuk mendukung kesejahteraan mahasiswi.

Menstruasi dan Dampaknya pada Mahasiswi

Firly menyoroti bahwa rasa sakit yang dialami setiap individu saat menstruasi berbeda-beda.

Baca Juga: AI di Dunia Pendidikan: Solusi atau Ancaman untuk Mahasiswa Berpikir Kritis?

"Beberapa mahasiswi mungkin mengalami nyeri yang sangat parah hingga tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, beberapa dosen di kampus mengharuskan adanya surat keterangan sakit untuk izin absen,” ungkapnya.

Menurut Firly, izin cuti haid seharusnya bisa lebih fleksibel, misalnya dengan menunjukkan catatan siklus menstruasi yang tercatat di aplikasi

Selain itu, Firly menjelaskan bahwa perubahan hormon selama menstruasi dapat memengaruhi suasana hati dan kemampuan berkonsentrasi.

"Pada masa menstruasi, hormon tubuh berubah, sehingga suasana hati lebih sensitif. Rasa tidak nyaman, pusing, hingga kekhawatiran akan 'bocor' membuat banyak mahasiswi merasa tidak percaya diri saat harus mengikuti perkuliahan," jelasnya.

Dampak fisik lain yang sering terjadi adalah anemia, yang bisa memperparah gejala seperti pusing, lemas, hingga risiko pingsan.

"Jika mahasiswi tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup atau tidak mengonsumsi suplemen, keluhan saat menstruasi bisa semakin berat," tambah Firly.

Cuti Haid Sebagai Solusi

Firly percaya bahwa cuti haid bukanlah langkah berlebihan, melainkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan mahasiswi.

"Jika seseorang mengalami kram parah hingga tidak bisa diatasi dengan obat, istirahat menjadi sangat diperlukan. Bahkan, dalam kasus tertentu, pemeriksaan ke dokter mungkin dibutuhkan," tegasnya.

Kemudian, Firly juga menyatakan bahwa kebijakan ini dapat memberikan ruang bagi mahasiswi untuk pulih tanpa merasa khawatir kehilangan materi kuliah atau dianggap lalai.

Edukasi tentang menstruasi untuk pihak kampus dan mahasiswa juga perlu dilakukan agar kebijakan ini dapat diterapkan secara adil.

Kampus sebagai Tempat yang Inklusif

Firly berharap kampus-kampus di Indonesia dapat mulai menerapkan kebijakan cuti haid. Meskipun tidak ada kewajiban hukum seperti dalam konteks pekerja, langkah ini menunjukkan kepedulian kampus terhadap kesehatan mahasiswinya.

"Kebijakan ini tidak hanya memberikan waktu pemulihan, tetapi juga mencerminkan komitmen kampus dalam menciptakan lingkungan yang inklusif," tutup Firly.

Baca Juga: Girls Takeover! 20 Anak Perempuan Ambil Alih Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Perutusan Kanada untuk ASEAN

(Nurul Lutfia Maryadi)

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI