Bulldozer Parenting: Kasih Sayang yang Mengikis Kemandirian Anak?

Bulldozer parenting adalah pola asuh di mana orang tua membersihkan segala hambatan yang ada di jalan anak mereka, tanpa memberi kesempatan bagi anak untuk belajar menyelesaikan masalah secara mandiri.

By: Elga Maulina icon Kamis, 19 Desember 2024 icon 11:35 WIB
Bulldozer Parenting: Kasih Sayang yang Mengikis Kemandirian Anak?

Ilustrasi ibu dan anak bertengkar (Freepik/azerbaijan_stockers)

Kasus kekerasan yang melibatkan seorang ibu terhadap kepala koas anaknya baru-baru ini mencuri perhatian publik.

Insiden ini tidak hanya memicu diskusi mengenai etika dalam menyelesaikan konflik, tetapi juga menyoroti pola asuh "bulldozer parenting."

Pola asuh ini menggambarkan orang tua yang terlalu banyak campur tangan dalam kehidupan anak, hingga justru menghambat perkembangan kemandirian mereka.

Baca Juga: Jangkauan Kampanye 16HAKTP Meluas, Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Butuh Komitmen Lintas Sektor

Psikolog Agustini memberikan pandangannya dalam wawancara eksklusif mengenai dampak buruk dari pola asuh seperti ini.

Menurut Agustini, banyak orang tua yang berniat baik ketika mereka turut campur dalam permasalahan anak. Namun, tindakan ini sering kali memiliki dampak negatif.

“Mungkin tujuannya adalah membantu anak untuk meringankan beban yang mereka alami. Namun, justru anak menjadi tidak memiliki kemandirian. Mereka tidak diajarkan bagaimana menghadapi masalah atau tantangan dalam hidup mereka,” ungkapnya.

Apa Itu Bulldozer Parenting?

Bulldozer parenting adalah pola asuh di mana orang tua membersihkan segala hambatan yang ada di jalan anak mereka, tanpa memberi kesempatan bagi anak untuk belajar menyelesaikan masalah secara mandiri.

Pola asuh ini sering dilakukan dengan alasan kasih sayang, tetapi justru dapat menghambat perkembangan anak dalam jangka panjang.

Dalam kasus Lady Aurellia Pramesti, sang ibu bahkan sampai menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Agustini menegaskan bahwa pendekatan seperti ini hanya akan memperpanjang masalah.

“Harusnya masalah seperti ini bisa diselesaikan dengan baik-baik. Misalnya, jika ada persoalan buku tugas atau jadwal tiket, itu bisa dibicarakan tanpa perlu kekerasan,” ujarnya.

Dampak Negatif Bulldozer Parenting

Intervensi berlebihan dari orang tua memiliki sejumlah dampak negatif. Anak menjadi kurang percaya diri dalam menghadapi situasi sulit karena mereka terbiasa diselamatkan oleh orang tua.

“Anak tidak belajar bertanggung jawab atau mencari solusi atas masalah yang mereka hadapi. Bahkan, mereka bisa terkena dampak emosional yang lebih besar di kemudian hari,” jelas Agustini.

Agustini juga mencatat pentingnya membedakan antara mengawasi dan mengintervensi.

“Orang tua boleh mengawasi anak untuk memastikan apa yang mereka lakukan sudah benar. Namun, jika sampai melakukan intervensi, apalagi dengan cara yang salah, itu tidak mendidik anak dengan baik,” tuturnya.

Solusi yang Lebih Baik

Sebagai alternatif, Agustini menyarankan pendekatan yang lebih konstruktif.

“Lebih baik kasih solusi daripada mengintervensi,” tegasnya.

Orang tua dapat membantu anak memahami masalah yang dihadapi tanpa langsung mengambil alih tanggung jawab. Misalnya, dengan memberikan panduan atau mendiskusikan langkah-langkah yang dapat diambil anak untuk menyelesaikan masalahnya.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi para orang tua untuk lebih bijak dalam mendampingi anak.

Alih-alih menjadi “bulldozer,” orang tua sebaiknya berperan sebagai pendamping yang memberi ruang bagi anak untuk berkembang dan belajar mandiri.

Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi individu yang kuat dan siap menghadapi berbagai tantangan hidup. (Dewiku.com/Nurul Lutfia)

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI