Jangan Remehkan, Slow Learner dan Transpuan Bisa Jadi Barista Hebat

Mereka tekun belajar melalui Pelatihan Barista Inklusif yang diselenggarakan di YAKKUM.

By: Rima Sekarani Imamun Nissa icon Rabu, 13 Februari 2019 icon 20:44 WIB
Jangan Remehkan, Slow Learner dan Transpuan Bisa Jadi Barista Hebat

Ilustrasi barista inklusif. (DewiKu.com/Ema Rohimah)

Difabel termasuk kaum rentan yang masih kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Pada saat bersamaan, bias gender juga sering membuat tekad perempuan untuk lebih mengembangkan diri malah dipandang sebelah mata. Bisa dibayangkan seperti apa perjuangan perempuan difabel untuk membuktikan eksistensi dirinya?

Siang itu adalah hari ke-24 Vania belajar segala hal tentang kopi. Sejak 21 Januari 2019 lalu, dia menjadi salah satu peserta Pelatihan Barista Inklusif bersama Pusat Rehabilitasi YAKKUM di Yogyakarta.

Masa pelatihannya cuma tersisa dua hari. Jadi jangan heran kalau Vania sudah tidak begitu asing lagi dengan kopi.

Baca Juga: Tak Ada Kesetaraan Gender, Randi Zuckerberg Resign dari Facebook

Cupable, sebuah coffee shop yang tak jauh jadi gedung YAKKUM, menjadi laboratorium belajar Vania dan peserta lainnya sejak beberapa hari belakangan.

''Bikin kopi Vietnam Drip,'' kata Vania saat memamerkan kelihaiannya membuat minuman yang kini hampir pasti ada di setiap kedai kopi.

Vietnam Drip mungkin layak dijuluki sebagai kopi kesabaran. Kita dipaksa sabar menunggu setiap tetes kopi dari filternya sebelum bisa menikmati minuman itu. Nah, membuatnya pun butuh kesabaran ekstra.

Baca Juga: Ditolak Masuk Toko karena Pakai Kursi Roda, Wanita Ini Curhat di Facebook

Kepada DewiKu.com, Vania bilang bahan yang mesti disiapkan adalah kopi robusta dan kental manis. Dia bahkan dengan senang hati menunjukkan setiap tahapan pembuatan kopi Vietnam Drip.

Pertama, Vania berkonsentrasi menimbang kopi robusta seberat 15 gram. Biji-biji kopi itu kemudian digiling hingga menjadi bubuk.

Jika sudah, tuang susu kental manis secukupnya di gelas saji. Tak perlu berlama-lama, selanjutnya siapkan alat dripper dan masukkan bubuk kopi ke dalamnya.

Begitu semuanya siap, masukkan air panas ke dalam dripper sampai penuh. Kita kemudian hanya perlu menunggu sekitar 3-5 menit hingga air kopi menetes perlahan ke dalam gelas dan siap disajikan.

Vania, salah satu peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)
Vania, salah satu peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)

Belajar secara perlahan dari nol

Siapa yang berpikir kalau membuat kopi Vietnam Drip tadi relatif mudah? Apa iya harus belajar sampai hampir sebulan hanya untuk itu?

Bagi Vania, memulai semuanya dari nol bukan hal mudah. Rupanya Vania adalah seorang penyandang disabilitas. Dia menyebut kekurangannya dengan istilah slow learner.

Seseorang yang mengalami slow learner atau keterlambatan belajar ini ditandai dengan mempunyai potensi intelektual sedikit lebih rendah di bawah normal. Dalam beberapa hal, Vania pun mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan, termasuk dalam adaptasi sosial.

Vania membutuhkan waktu lebih lama dan proses berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik mau nonakademik. Sama halnya saat dia belajar tentang kopi.

Perempuan berusia 21 tahun ini sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di sekolah umum. Namun, dia sempat tiga kali tidak naik kelas saat SD.

Orang tua Vania lalu disarankan untuk memindahkan sang anak ke sekolah berkebutuhan khusus. Syukurlah, itu menjadi keputusan tepat karena setelah itu Vania bisa belajar dengan lebih nyaman dan bahkan jadi lebih cepat mengerti apa yang diajarkan.

Kopi buatan barista inklusif. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)
Kopi buatan barista inklusif. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)

Meski begitu, Vania masih ingat benar soal berbagai pengalaman pahit sebagai seorang difabel. Dia jadi korban perundungan teman-teman dan para tetangga. Mereka bilang Vania aneh, padahal dia merasa baik-baik saja dengan dirinya sendiri.

Saat berusia sekitar 15 tahun, Vania mengaku pernah mengurung diri di rumah selama dua bulan. Dia merasa tidak bisa berdamai dengan perlakuan buruk dari lingkungan sekitar.

Beruntung Vania memiliki orangtua dan kakak yang selalu mendukung. Mereka tidak pernah lelah menyemangati Vania hingga akhirnya berani keluar rumah lagi.

''Aku cuma bisa sabar menghadapi orang-orang yang mengejek diriku,'' ungkap Vania.

Usut punya usut, ternyata ayah Vania adalah mantan pekerja pabrik kopi dan itulah salah satu alasan Vania mengikuti Pelatihan Barista Insklusif. Dia berangkat jauh-jauh dari Wates, Kulonprogo, menuju gedung YAKKUM yang lokasinya dekat lereng Gunung Merapi, Yogyakarta.

Setelah ini, dia berencana membuat kedai kopi kecil-kecilan. Dari situ Vania berharap bisa membantu kedua orang tuanya, sekaliigus membuat masa depannya menjadi lebih baik lagi.

Vania mengaku antusias belajar berbagai hal terkait kopi. Bagian paling menarik menurutnya adalah adalah ketika proses pembuatan minuman kopi.

''Masih sulit bikin kopi espresso,'' kata dia saat ditanya soal kesulitan yang dihadapi.

Vania (kiri) dan Tika (kanan), peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)
Vania (kiri) dan Tika (kanan), peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)

Tekad berbagi ilmu

Kisah Tika tak kalah menarik dari Vania. Dia adalah seorang transpuan yang sudah berusia 36 tahun. Menjadi seorang transpuan di lingkungan yang belum bisa terbuka dengan isu terkait diakui sangat sulit.

Usai berbincang soal kopi, Tika pun bercerita jika dirinya telah merasakan jiwa perempuan bergejolak dalam dirinya sejak kecil. Kala itu ia lebih suka main bersama teman-teman perempuannya ketimbang dengan sesama laki-laki.

Menginjak usia pubertas, mulai muncul rasa yang berbeda. Ia pun tidak mengerti kenapa malah lebih tertarik kepada laki-laki daripada perempuan.

''Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk berdandan seperti layaknya perempuan biasa,'' ungkap Tika yang kini tinggal di Yogyakarta.

Ada cerita sedih di balik perubahan Tika. Ia harus memutuskan keluar dari rumah karena ada beberapa anggota keluarga yang tidak setuju dengan perubahan dirinya sebagai transpuan.

Jelas bukan pilihan yang mudah, jadi mulai saat itu Tika harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Bagai hilang arah, Tika pun sempat terjun ke dunia malam demi bertahan hidup. Namun, dirinya terbilang beruntung karena kemudian menemukan lingkungan yang lebih suportif.

Vania (kanan) dan Tika (kiri), peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)
Vania (kanan) dan Tika (kiri), peserta Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)

Sekarang Tika adalah salah satu anggota Ikatan Waria Yogyakarta (IWY). Dia kemudian merasa sangat antusias saat berangkar sebagai perwakilan organisasi untuk mengikuti Pelatihan Barista Inklusif.

Kopi favorit Tika adalah cappucino dan coffee latte. Dia sendiri berniat melanjutkan magang di coffee shop untuk belajar lebih dalam sekaligus mengasah kemampuannya. Jika sudah cukup modal, Tika juga ingin punya kedai kopi sendiri.

''Selain itu aku juga ingin membagikan ilmu ini ke temen-temen di organisasi IWY. Harapannya akan bermanfaat dan teman-teman di sana ada yang tertarik juga untuk terjun ke industri kopi,'' tutur Tika.

Tika lalu mengungkapkan harapannya tentang peningkatan kesejahteraan transpuan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Banyaknya pelatihan untuk kaum marginal sepertinya diharapkan membuat stigma negatif masyarakat tentang trasnpuan bisa hilang secara perlahan.

Ia ingin pandangan masyarakat terhadap mereka berubah. Bahwa, transpuan tak melulu identik dengan dunia malam dan menjadi pengamen jalanan. Mereka juga bisa bekerja layaknya orang-orang pada umumnya. Menjadi barista, misalnya.

Barista inklusif bukan hal mustahil

Industri kopi terus berkembang. Pekerjaan barista kopi pun semakin banyak dilirik generasi muda. Meski kadang masih disepelekan, nyatanya butuh keahlian khusus untuk bisa menjadi barista profesional.

Kelas khusus untuk para calon barista juga semakin menjamur. Hal itu tentu tak lepas dari banyaknya orang yang tertarik menguasai teknik meracik kopi.

Belajar meracik kopi adalah hak semua orang. Setidaknya itulah pesan sederhana Pelatihan Barista Inklusif yang juga menjadi bagian dari Program Peduli yang dikelola The Asia Foundation dan mendapat dukungan dari Pemerintah Australia.

Rupanya, itu adalah kali kedua Pelatihan Barista Inklusif digelar. Tujuannya masih sama, yakni memberikan kemampuan tambahan dan menaikkan posisi tawar kalangan disabilitas.

Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)
Pelatihan Barista Inklusif oleh YAKKUM. (DewiKu.com/Amertiya Saraswati)

Mengapa kopi? Popularitas kopi bisa dibilang sedang naik daun. Kebanyakan anak muda zaman sekarang pun nongkrongnya di coffee shop. Melihat tren gaya hidup yang diprediksi akan berlangsung lama ini, kopi dinilai cukup efektif sebagai sarana program kampanye tentang isu disabilitas dan inklusi agar semakin dipahami banyak orang.

Harapannya, masyarakat mempunyai pandangan sama rata terhadap kaum marginal sehingga tidak perlu lagi ada diskriminasi antara sesama manusia. 

''Kita ingin pelatihan barista ini nantinya temen-temen bisa mengampanyekan isu sosial ini. Tidak ada lagi orang yang dimarginalkan,'' jelas Adit, Staf Informasi dan Komunikasi Program Peduli.

Tentu ada beragam kekhawatiran yang dirasakan pada peserta Pelatihan Barista inklusif. Kesulitan mereka yang selama ini butuh kursi roda untuk mobilitas sehari-hari tentu tidak sama dengan seorang transpuan maupun slow learner.

Pekerjaan rumah terbesar dari progam ini adalah bagaimana membangun dan menjaga semangat pra peserta agar tetap bisa mengembangkan kemampuan diri setelah selesai mengikuti pelatihan.

Rippy, Project Office Progam Peduli menambahkan, pihaknya juga fokus pada pengembangan jaringan sebagai salah satu usaha untuk meminimalisir kekhawatiran yang dirasakan para peserta. Menurutnya, jaringan bakal sangat membantu saat ingin serius menapaki industri kopi.

''Karena kita mengharapkan mereka bisa berkembang di industri kopi. Tak harus menjadi barista, mereka bisa menjadi distributor kopi, sortir biji kopi, dan penulis tentang kopi,'' terang Rippy.

Ilustrasi barista inklusif. (DewiKu.com/Ema Rohimah)
Ilustrasi barista inklusif. (DewiKu.com/Ema Rohimah)

Kopi enak buatan barista inklusif

Bagaimana pendapat penikmat kopi mengenai barista inklusif? Rupanya, barista inklusif belum menjadi hal lumrah alias masih sangat jarang.

DewiKu.com pun mencoba bertanya kepada dua penikmat kopi. Mereka mengaku sama sekali belum pernah bertemu dengan barista inklusif selama menjelajah rasa kopi di banyak kedai kopi.

Meski begitu, mereka tidak begitu peduli dengan barista inklusif atau bukan. Siapapun boleh belajar meracik kopi. Jika punya tekad kuat, siapapun bisa menjadi barista.

''Oke-oke aja. Kan dia udah diberi nama barista, otomatis udah bisa buat kopi enak, apapun kekurangannya,'' komentar seorang penikmat kopi bernama Adhi.

''Kalau aku oke-oke aja, sih. Karena ya buatku, yang penting produknya, nggak terlalu memperhatikan yang bikin itu berkebutuhan khusus atau enggak,'' ungkap Sylvana, penikmat kopi lainnya.

Baca Juga: Fanri Collection, Mahakarya Kulit Ikan Pari di Tangan Difabel

Sepakat dengan Adhi dan Sylvana. Semua orang berhak mengembangkan potensi masing-masing, termasuk difabel dan kaum rentan lain. Semoga semakin banyak program progresif serupa Pelathan Barista Inklusif sebagai bentuk perjuangan menghilangkan perlakuan diskriminatif terhadap sesama. Semua orang berhak bahagia, bukan?

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI